Milli dan Nathan [2011]


"Tiap manusia bisa terbang, yang dibutuhkan hanya seseorang untuk menunjukkan bagaimana melebarkan sayapnya..."

Hanny R. Saputra adalah sutradara yang labil menurut gue. Dari sederet film yang dia sutradarai, nggak ada yang berciri khas. Kualitasnya naik turun. Kadang membanggakan seperti debutnya dalam Virgin, atau malah sebaliknya, hampir menjelma menjadi nayato kedua. Upps...

Produksi pertama dari label musik Falcon ini diangkat dari naskah olahan Titien Wattimena yang belakangan juga sama payah. Titien gampang sekali tertebak dalam menyajikan jalan cerita untuk skenario olahannya. Almost dangkal. Malah terkadang penuh kata-kata chessy meski sudah diselipi dengan pesan tersirat yang mungkin asyik juga untuk dijadikan semacam quote untuk hidup kita. Tapi gue setuju dengan pemilihan ending yang aman. Jauh dari kesan corny seperti tangis-tangisan sambil memeluk cowok yang dicintai meninggal. Karena bakal berasa lagi nonton film india.

Milli dan Nathan bercerita tentang dua orang remaja SMA beda karakter yang bersahabat, kemudian jatuh cinta, putus dan kehilangan arah. Kembali dipertemukan. Bimbang. Menemukan cinta baru yang tak sesuai. Putus. Kembali lagi bertemu. Berpisah. Dan kemudian meninggal.

Film ini serupa tapi tak sama dengan Pupus besutan Rizal Mantovani yang rilis lebih dulu. Sama-sama mengangkat tema tentang cinta pertama, kegalauan setelah putus, menemukan tambatan hati baru yang tak sesuai, kembali dipertemukan dengan cinta pertama dan kemudian berpisah. Sama-sama memperlihatkan ketegaran seorang cewek yang dipermainkan oleh takdir akan cinta sejatinya. Sama-sama berakhir klise. Bedanya, dari segi pendewasaan cerita, Milli dan Nathan lebih terasa matang. Meski kurang menguras emosi.

Selain gambar yang cantik serta single Kutemukan Penggantinya milik Winda yang menjadi soundtracknya dan lumayan sukses menjelma jadi racun, rasanya nggak ada yang istimewa bagi gue. Milli dan Nathan hanyalah pengulangan dari film cinta picisan yang berkali-kali diangkat jadi film layar lebar oleh sineas dalam negeri. Dan mirisnya berakhir sama-sama kurang memuaskan.

Dari segi akting hampir datar, bahkan Olivia Jansen yang jadi karakter sentralpun terlihat kurang meyakinkan. Beruntung ada sosok Sabai Morscheck yang entah kenapa tampil begitu menyenangkan daripada akting galau di film-film sebelumnya.

Lalu soal adegan ciuman yang kasar banget pengeditannya itu gue no komen aja. Males ngurusin pihak LSF yang suka seenaknya main pangkas. Padahal biasa aja menurut gue adegan ciuman itu daripada scene pamer belahan dada, bokong atau paha di film-film horor jablay kekinian.

At least, bukan film yang buruk. Tapi sangat membosankan untuk dinikmati. Terutama dari segi akting dan ceritanya. Padahal sangat berpotensi untuk menjadi sebuah drama tentang pendewasaan karakter yang menjanjikan banyak hal. Membuat kecantikan sinematografi yang ditawarkan filmnya lenyap tak berbekas..

Rating 4/10

Ada Apa Dengan Pocong? [2011]


"Dimana-mana dukun mintanya primbon, bukan kamus," - Boy

Gue agak lupa gimana ceritanya, karena di pertengahan sempat dibikin ngantuk akibat mati bosan padahal durasinya cuma sejam lebih dikit. Pokoknya tentang 4 cowok dengan karakter aneh yang diteror oleh pocong sekaligus kuntilanak. Mereka adalah Boy (Zaky Zimah) yang homo wannabe, Wawan (Dallas Pratama) si penakut, Tedi (Jerry Likumahua) yang Budi—budek dikit serta Hary (Raymond) yang dijuluki body panser. Lalu, kenapa 4 cowok ini diteror? Dan bagaimana menghentikan teror itu? Yakinlah, kalian nggak bakal terlalu peduli nasib kenapa mereka bisa dikejar setan dan bagaimana. Atau mungkin ingin menyarankan alternatif ending yang lain. Seperti menegak baygon mungkin. Biar bisa berakhir happily ever after a la dongeng klasik?Who knows.

Hell, pocong dan kuntilanak kembali dieksploitasi lagi (dan lagi, dan lagi, sampe gue bosan lalu pengen boker di dalam bioskop saking eneknya) dalam satu paket film bergenre komedi-horor yang berakhir nanggung dan sedikit mengecewakan berlabel Ada Apa Dengan Pocong? Ya, kecewa. Gue mikirnya pas duduk di bioskop bisa nyante dan fun. Tapi ternyata nggak tuh.

To be honest, bagi gue film ini nggak sesampah yang dibayangkan. Meski dari segi judul uda corny mampus tapi terbukti sukses membawa penonton remaja galau, para vividism dan orang-orang kurang kerjaan berbondong-bondong masuk bioskop. Taktik pasar yang jitu rupanya. Terlepas dari entah apa rekasi Mira Lesmana dan Riri Riza nanti. Mungkin mereka menyesal memakai judul Ada Apa Dengan Cinta? dulu sehingga ingin segera merilis ulang film Dian Sastro dan Nicholas Saputra dengan judul, Cinta, Ada Apa Denganmu? atau apapun itu, whatever.

Beruntung kali ini bukan lagi ulah dedemit yang merupakan aib perfilman Indonesia, om Naya, yang menyutadarai, melainkan anak asuhnya. Chiska Doppert. Familiar? Ya, dia orang yang sama yang pernah membesut Missing beberapa tahun lalu. Sempet dikira alter ego om Naya. Tapi ternyata bukan (meski gue sendiri masih ragu). Cara penyajian mereka berdua sangatlah berbeda. Chiska lebih halus dan lembut dalam bertutur. Meski pada akhirnya, di berbagai part terlihat nggak jauh beda sama gurunya. Saran gue kalo mau berguru jangan sama om Naya. Kayak nggak ada guru lain aja. Sama gue mungkin, belajar ngata-ngatain orang tapi. Hehehe....

Seperti yang udah gue singgung di paragraf ketiga, Ada Apa Dengan Pocong bukanlah film yang buruk. Naskah besutan Ule Sulaeman gue akui sudah mencoba untuk menyajikan hal-hal baru—meski pada akhirnya basi juga. Sayang, ekskusi dari sang sutradara berakhir klise seperti kebanyakan horor yang di tawarkan enam bulan kebelakang di tahun ini. Komedi yang disajikan terlampau garing bin usang. Zaky Zimah dan Raymond sudah cukup membosankan untuk dipaksa memerankan karakter tipikal seperti ini. Ampuh memang dibeberapa adegan, tapi kalau terlalu sering kan nggak lucu juga. Parahnya, ini film bergenre komedi tapi kenapa scoringnya serasa film horor yang horor, bukan horor komedi. Jadinya Ada Apa Dengan Pocong? adalah komedi Horor yang nanggung (gara-gara salah scoring kalee jeng Chis). Poin aneh lagi adalah pengambaran flashback story yang terlalu drama dalam penjabaran dan tentu saja terlalu maksa. Apa nggak ada alternatif lain selain kepentok pohon, jatuh terbentur batu terus mati. Apakah tidak anak SD sekali?

Kebodohan-kebodohan karakter, cerita yang maksa, terlalu bertele dan banyak dialog absurd yang maunya lawak tapi gagal dan berujung pada dialog goblok lah yang membuat film ini begitu menyiksa. Well, kalo aja para bintang-bintangnya bukan ini-ini lagi, Ada Apa Dengan Pocong mungkin bisa dibilang berbeda. Sayang, bagi penikmat film lokal yang baik dan benar, pasti akan antipati duluan dengan beberapa nama pemerannya. Bahkan hanya dengan melihat poster AADC wannabe itu. Beruntung cuma pada teaser dikasi pernak pernik warna. Apa jadinya kalo poster resmi yang nempel di bioskop seperti itu? Gue yakin Rudi Soedjarwo bakal langsung kena stroke karena masterpiece nya disamain dengan film seperti ini.

At least, dengan hasil mendekati 20.000 penonton dihari pertama rilis, film ini lumayan banyak diminati rupanya. Dan jangan heran jika nanti muncul film-film senada. Dan semoga bisa lebih lagi dan memakai bintang-bintang baru. Agar tak terkesan klise dan menjemukan. Juga jangan sampai memasang nama sutradara Nayato lagi jika nggak ingin di cap sampah! Pelis, penikmat film indonesia sudah bosan dengan keklisean yang melanda akhir-akhir ini. Seperti dialog Boy di salah satu adegan, yang mungkin bisa jadi gambaran seperti apa komentar sinis penonton sekarang: "Kenapa hidup gue jadi berubah drastis begini sih? Dimane-mane di teror setan. Kalo gak pocong, kuntilanak.."

Rating 2/10

Fiksi. [2008]


“Aku cuma bercanda, nggak perlu jadi drama.”

Jangan ngaku lo gaul film indonesia kalo judul dahsyat seperti Fiksi. gatau. Mungkin memang nggak begitu kedengaran namanya karena muncul dibarengi dengan gempuran film satu negeri yang bergenre komedi dan horor cabul wannabe, lalu hilang gitu aja kayak gak pernah terjadi apa-apa. Tapi film arahan Mouly Surya ini seperti setitik air yang ditemukan di padang gersang. Lebay? Nggak kok.

Ceritanya simpel banget. Tentang Alisha (Ladya Cherryl), seorang cewek kaya yang kesepian. Semenjak kematian ibunya, Alisha selalu ditinggal oleh sang Ayah yang entah sibuk dengan pekerjaan atau cewek lain seperti dugaannya. Sehari-hari hanya berempat dengan seorang pengurus rumah, sopir pribadi dan sebuah cello. Namun kehidupan datarnya berubah ketika Alisha bertemu dengan Bari (Donny Alamsyah), pekerja serabutan yang berkerja dirumanya.

Oke, sampai sini sepertinya too cliche to be true. But wait, ini masih permulaan, tunggu sampai sebuah drama datar ini berubah menjadi sajian thriller psikologis. Yang siap menjungkir balikan dunia sadar kita tanpa basa-basi.

Naskah Fiksi. ditulis oleh Joko Anwar. Sepertinya nggak usah bertanya kenapa dia bisa segila ini. Karena itulah Joko. Membuat film yang memang perlu dibuat. Dengan tema yang jarang tersentuh. Tapi seperti biasa pula, dimasukan sub-plot tentang gay. Yah, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Jadi nggak perlu ditanya kalau dibeberapa film dimana ada nama Joko, pasti ada unsur itu.Sebut saja Arisan!, Kala atau Babi Buta Ingin Terbang, debut film panjang Edwin, dimana Joko Anwar bermain sebagai salah satu tokoh di dalamnya.

Yang lebih gila lagi, seorang Mouly Surya, sukses mengekskusi film pertamanya ini dengan brilian. Sepertinya Mouly mencurahkan seluruh bakat yang dia pendam untuk Fiksi (sotoy deh gue). So, nggak salah kalau balasan setimpal berupa piala dengan embel-embel sutradara terbaik di Jiffest dan Festival Film Indonesia mampir ke tangannya. Film ini minim percakapan, kebanyakan hanya berupa adegan bisu yang mengandalkan imajinasi kita menerka kenapa. Jarang ada film indonesia yang berhasil membuat kekosongan itu terisi,dan Mouly lah orangnya. Dengan sangat menawan, dingin dan mencekam dia sukses menyajikan betapa sakitnya film ini.

Nggak cuma itu, unsur ketegangan juga sukses diciptakan oleh penata musik dan yang nggak boleh ketinggalan, Ladya Cherryl, salah satu artis berbakat (sekaligus ehem.., mantan gue) yang pernah dimiliki indonesia. Jarang muncul tapi sekali muncul langsung gempar.

Sayangnya ada sedikit kekurangan yang sangat mengganggu bagi gue. Yaitu karakter Alisha yang dibuat seperti versi live action dari Shojo manga jepang. Juga akting dari Donny Alamsyah yang nggak enak dilihat. Serta plot hilangnya Alisha yang dibiarin gitu aja dan nggak dibahas atau setidaknya dicari oleh karakter sopir sekaligus intel sampai film berakhir.

At least, Fiksi. tetap nikmat di tonton untuk ukuran film sejenis buatan anak negeri, yang mungkin akan jadi film noir paling dicari suatu hari nanti. Ayo makanya sebelum ketinggalan, segera cari DVD dan VCD originalnya. Eh, kok gue jadi promosi ya. Nggak dibayar lagi. Gapapa deh, bonus karena filmnya emang layak koleksi!

Rating 7/10

Cin.. Tetangga Gue Kuntilanak! [2010]


Rasanya setelah melihat film ini, gue mau bikin permintaan maaf secara resmi pada pembuat film Untukmu. Dimana ketika mereview Untukmu, gue menyebutkan kalo film itu sangat bla-bla-bla. Tapi ternyata oh ternyata, gue telah berdosa. Setidaknya Untukmu terasa seperti The Tree of Life yang barusan menang Cannes daripada film tai anjing seperti ini.

Gue nggak tau orang-orang primitif idiot (hell, uda primitif, idiot pula!) macam apa yang mengedarkan film tai anjing seperti ini. Eh ralat, ini bukan film. Ini tai yang beneran tai. Harusnya lembaga sensor malu dan tak mengedarkan film indonesia yang penuh adegan tambalan dari potongan scene film luar dan animasi yang tersebar di yutub. Pun dengan pemain yang sangatlah nggak layak disebut artis. Jangan lupa pula ada karakter Joker wannabe disini juga posternya yang sudah menggambarkan film secara kesulurahan.

Yakinlah, menonton film ini akan menimbulkan gejala bulanan seperti muntah kelabang, panas dingin 7 hari 7 malam non stop full service dan tak lupa bonus tidur dihantui mimpi buruk bertemu Cynthiara Alona berkepala tengkorak dan tanpa wignya yang kayak Sadako itu. Semoga orang-orang laknat kayak mereka berhenti bikin film yang akan memalukan nama baik mereka sendiri nantinya. Gue yakin anak-anak mereka kelak nggak bakalan bangga kalo ayah mereka pernah membuat spesies lain dari tai ini. Cukup Nayato dan KKD saja, yang langsung gue sembah-sembah setelah nonton film ini sambil nahan boker. Karena setidaknya derajat mereka naik satu tingkat dibanding para dedemit di belakang layar Cin.. Tetangga Gue Kuntilanak!

Gue gak mau melanjutkan mereview dan berpanjang lebar seperti sebelumnya. Intinya film ini sangat..

ANJING!!!

At least, jangan bertannya kenapa gue nekat menonton? Karena gue juga nggak tahu jawabannya. Sekian!

Rating - /10

Dalam Mihrab Cinta [2010]


Film yang diangkat dari buku best seller memang lumayan banyak diminati beberapa tahun kebelakang. Diawali dari demam teenlit pasca Eiffel I’m in Love yang meledak hingga Laskar Pelangi. Selain memang sudah mempunyai fanbase tersendiri, kebanyakan para penonton penasaran seperti apa versi live action dari buku yang mereka baca. Dalam Mihrab Cinta termasuk didalamnya. Lagi-lagi diangkat dari buku bernuansa religi dengan taburan kisah cinta picisan karya Kang Abik setelah sukses dengan Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu (meski bagi gue nggak banget) dan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih.


Sebelum masuk ke film, gue mau sedikit ngomentarin soal posternya yang so-so corny. Entah kenapa film bertema reliji harus sestereotip ini posternya. Nggak ada beda dari dwilogi Ketika Cinta Bertasbih bahkan film-film religi lain. Paling parah, selalu ada embel-embel alay seperti syuting di mesir asli bla-bla-bla. Emang penting gitu ya? Baiklah, lanjut ke topik.


Sebenarnya nggak ada yang baru dalam kisah rekaan Kang Abik kali ini. Dalam Mihrab Cinta berjalan tak beda seperti pengulangan dari kisah sebelumnya. Dan sang penulis novel yang merangkap peran sebagai sutradara juga membuat film ini sangat sinetron-ish. Dengan jajaran pemain yang sering muncul di sinema elektronik produksi sinemart, tak salah kalau gue sedikit skeptis seperti apa hasilnya. Beruntung, beberapa pemain cukup normal dan nggak ‘kaget-layar-lebar’ seperti Tsania Marwa dan Dude. Sayang, di beberapa part banyak sekali pemain pendukung yang berakting layaknya acara yang diputar di jam prime time itu. Bukannya apa-apa sih, tujuan menonton dibioskop kan untuk mencari hal baru. Ngapain coba nonton bioskop kalo hasilnya sama aja kayak televisi?

Selain berpakem pada cerita sebelumnya, kelemahan film ini terletak pada ritme yang terbilang datar dan serba kebetulan. Okelah, kalo mau mencoba setia pada bukunya. Tapi apa perlu dibuat klise, predictable dan sechessy ini? Hal yang paling mengganggu justru ending yang sangat, wow, mengampangkan sekali. Mungkin kalo dinikmati dalam bentuk tulisan oke kali ya. Tapi untuk sajian layar lebar, seharusnya penulis skenario, Adra P. Daniel bisa lebih bereksplorasi untuk mengakali agar apa yang terjadi tak secorny itu untuk disaksikan. In the end, belum ada film religi based on best seller book yang benar-benar menyenangkan untuk dilihat ketika diadaptasi. Mungkin nanti, entah apa. Atau mungkin buku karangan Kang Abik lagi. Hell, semoga bukan. Sudah bosan dengan sodoran kisah cinta ritme klise-beda tokoh seperti yang dia jabarkan dalam buku-bukunya.

Rating 4/10

Coklat Stroberi [2007]


“Menjadi gay itu nggak mempunyai masa depan...”

Coklat Stroberi adalah film yang membahas tema gay secara eksplisit setelah Arisan! atau mungkin Kala yang dua-duanya terdapat nama Joko Anwar didalamnya. Berdasar naskah olahan Upi Avianto dan merupakan debut bagi sang sutradara, Ardy Octaviand yang sebelumnya cuma menggarap iklan tivi.

Bercerita tentang Key (Nadia Saphira) dan Citra (Marsha Timothy), dua sahabat yang memilih tinggal bersama dalam sebuah kontrakan. Karena belum bisa membayar tunggakan, mereka mesti rela berbagi ruangan dengan dua cowok, Aldi (Mario Meridhitia) dan Nesta (Nino Fernandez). Masalah muncul ketika Nesta dekat dengan Key. Aldi yang sudah dua tahun jadi pacar Nesta jelas nggak bisa terima gitu aja. Hingga dua cowok ini sering bertengkar supaya status ‘ajaib’ mereka jangan sampe ketahuan. Masalahnya, Citra yang diam-diam mendekati Aldi mulai curiga dengan keanehan tingkah lakunya. Lalu, gimana nasib orang-orang ini selanjutnya?

Melalui pendekatan lebih ke kaum labil, dengan memasukan unsur komedi serta cerita yang seringan kapas dan ending win-win solution, Cokelat Stroberi cukup bisa gue nikmati. Terutama penggambaran filosofi coklat yang berarti maskulin dan stroberi yang artinya too girlie untuk ukuran seorang cowok. Okelah, kalo ditilik dari jalan penceritaan yang terlalu menentang intelijensia seorang. Dimana dua cewek disini bisa segitu dungunya, sampe nggak tau kalo dua cowok dirumahnya adalah seorang gay.

Didukung jajaran soundtrack dari Lobow, Ungu, Naff, Letto dan Syahrini yang nggak bisa dilupain gitu aja saking enaknya lagu mereka serta akting dua primadona, Nadia dan Marsha, yang bener-bener menggugah selera, ke corny-an yang sudah tampak dari judul sok-sok lucu itu membuat film ini layak ditonton. Meski dibeberapa bagian terasa too much dan sangat sinetron meski diawal durasi sempat menyindir sinetron tapi malah filmnya sendiri nggak jauh-jauh kayak yang disindir haha.

Sebagai sutradara, Ardy Octaviand terbilang cukup rapi dan asyik membawa penonton untuk mengikuti kisah yang disajikan. Dan Upi, sebagai penulis skenario seharusnya bisa lebih lagi mengeksplor dialog yang juntrungannya malah kayak percakapan anak SMP.

Sesuatu yang aneh malah pengen gue kupas diluar film ini. Ada beberapa mayarakat ‘primitif’ yang tak mau menerima genre seperti ini. Dia bilang kalo nonton film gini bakalan jadi gini. Dan gue cuma bisa ketawa ngakak. Pemikiran dari mana tuh? Pasti lo ngira masih idup dijaman siti nurbaya masih eksis!

Rating 4/10

Oh Tidak..! [2011]


Melihat nama-nama orang dibalik layar, jelas sekali bahwa Oh Tidak..! bukanlah film yang ditujukan untuk mengisi slot kosong di televisi. Tapi entah kenapa selain beredar cuma di 2 gedung blitz megaplex, secara keseluruhan kualitas film ini memang membuat orang yang melihatnya akan berteriak “OH TIDAK!”.

Bercerita soal Gilang (Fathir Muchtar), seorang cowok metroseksual yang mempunyai pacar bernama Meisye (Marsha Timothy). Nah, saking perhatiannya sama diri sendiri, Meisye sempat mempertanyakan cinta yang ada dihati Gilang untuk dirinya. Menginjak usia hubungan 2 tahun, Gilang berusaha memperbaiki semuanya. Tapi sungguh sial karena disaat itu pula rombongan sirkus yang tak lain adalah keluarganya datang kerumah mengacau semua.

Ada sang mama (Marcella Loumowa) yang ingin bercerai dari suaminya (Djarwo Kuat) lantaran pria itu tergoda cewek di pengajian, ada nenek (Djaety) yang punya teman khayalan bernama Pamela hingga kerap kali ngomong sendiri, ada kakek (Sutrisna) yang hiperseks dan nggak sadar umur, serta paman (Arie Dagienks) pengidap kepribadian ganda gara-gara stres ditinggal sang istri yang ternyata seorang lesbian. Parahnya, dia lesbi sama pembantunya sendiri! Hal itulah yang akhirnya membuat Gilang terpaksa banyak melakukan kebohongan agar jangan sampai Meisya tau keadaan keluarganya yang aneh tapi nyata.

To be honest, plot film ini unik dan menarik sebenarnya. Dibeberapa momen bahkan gue sempat dibuat tersenyum sekilas. Tapi entah kenapa makin lama Upi gagal memikat penonton. Ritme cerita berjalan naik turun. Banyak komedi kering kerontang yang chessy tapi tetap dihadirkan. Dan parahnya lagi, Ardy Octaviand selaku sutradara mengeksekusi film ini dengan sangat berantakan dan malas menurut gue. Liat saja para aktor aktrisnya yang dibiarkan tampil tanpa penjiwaan sama sekali. Itu terlihat jelas dari akting kakek, nenek dan paman. Juga Fathir Muchtar. Gue gak enjoy liat si Fathir. Kancut banget aktingnya. Beruntung, masih ada Marsha Timothy yang berakting seperti biasa. Hingga membuat gue betah mengikuti film ini sampai selesai.

So far, pilihan yang tepat bagi Starvision untuk mengedarkan film ini secara terbatas. Toh ternyata nggak penting-penting juga dan mudah dilupakan. Oh Tidak..! bisa dibilang film terburuk yang ada dalam daftar film seorang Upi Avianto. Dan tentu saja penurunan bagi sutradara setelah mendapat predikat lumayan dalam mengeksekusi Coklat Stroberi. Salut untuk ketau dirian mereka—I mean, orang-orang dibalik layar Oh Tidak..! Nggak kayak sutradara dan produser you know how yang nggak tau diri, bahkan dengan pede gede mengedarkan film mereka secara nasional meski telah mengetahui bahwa filmnya amatlah sampah. Fakta teraneh, film itu laris manis dipasaran. Oh pelis...

Rating 2/10

Kentut [2011]


Kentut? What the hell is that?

Mungkin itu pertanyaan pertama yang bakalan muncul dibenak lo semua. Mengingat judul film ini emang sangatlah gak banget. Tapi terbukti mampu menarik animo masyarakat luas untuk membuktikan seperti apa isi filmnya. Apakah hanya berisi adegan kentut-kentutan atau adegan yang err.. jadi gak enak gue ngomongnya.

Bercerita tentang persaingan dua calon Bupati kabupaten Kuncup Mekar dengan visi dan misi yang berbeda. Kubu pertama diduduki oleh Patiwa (Keke Soeryo), sosok wanita cerdas dan lemah lembut yang berpikir lebih konkrit. Di kubu saingan ada Jasmera (Deddy Mizwar), pria perlente dengan cara berpikir lumayan nyeleneh dan mempunyai wakil yang berstatus sebagai penyanyi dangdut bernama Delarosa (Iis Dahlia). Saat selesai melewati acara debat terbuka yang ditayangkan salah satu stasiun tivi lokal, Patiwa menjadi korban tembak seseorang tak dikenal. Langsung saja dia dilarikan ke rumah sakit agar nyawanya dapat segera tertolong.

Irma (Ira Wibowo), wanita yang mengurusi tetek bengek kampanye Patiwa jelas kalang kabut. Pasalnya hari pemilihan kepala daerah tinggal menghitung hari. Dan itu tak mungkin dilewatkan jika Patiwa ingin menang. Masalahnya sekarang, kemenangan Patiwa hanya menunggu adanya bunyi kentut. Ya, Patiwa dinyatakan sembuh jika dia bisa kentut setelah dioperasi.

Kentut film yang unik memang. Dan Aria Kusumadewa selaku penulis skenario sekaligus sutradara terbilang berhasil membuat kita tertawa dengan black comedy-nya, dengan sindiran-sindiran disana-sini, dengan segala keabsurdan yang menunjukkan sekali fakta bahwa bangsa indonesia dan orang-orangnya memang seperti itu. Ya, kita disindir. Dan kita tertawa olehnya.

Namun sayang dari segi cerita kayaknya kurang berkembang dan kedodoran. Selain plot diatas, Kentut juga diisi banyak sub plot yang sebenarnya nggak nyambung. Tapi tetep dimasukin biar keahlian Aria Kusumadewa dalam menyalurkan aspirasinya bisa tersampaikan. Namun sayangnya dibeberapa part sentilan itu terbilang nggak tepat guna. Yang ada malah berkesan maksa sekali. Belum lagi soal ending yang sukses membuat gue melongo dan berkata “lho, kok gitu doang?”. Oke sih, setiap film memang mempunyai hak bersyarat dalam mengakhiri kisahnya. Meski terkadang dengan cara yang nggak bisa diterima gitu aja. Beruntungnya film ini diisi oleh jajaran pemain pendukung yang totalitas, yang sukses besar membawakan peran masing-masing secara maksimal terutama Ira Wibowo, Cok Simbara dan Rahman Yakob.

By the way, yang gue suka dari film ini adalah scene debat terbuka dimana pengambilan gambarnya dilakukan dengan teknik one shot. Keren banget akting Deddy Mizwar. Juga absurditas scene di rumah sakit yang annoying tapi asyik buat diikuti. Serta feedback suara yang sengaja dilakukan oleh tim editing di beberapa bagian. Gue nggak tau istilah filmnya apa, yang pasti ada scene dimana terdengar suara aneh yang spontan membuat gue ketawa ngakak.

Terlepas dari soal-soal diatas, overall Kentut tetaplah film yang bagus. Yah, film khas dari production house Citra Sinema deh. Gampang banget kalo mau dibikin daftar.

1. ada Deddy Mizwar
2. ada iklan disana-sini (dan di film ini, iklannya makin lebay)
3. ada ceramah-ceramahan
4. ada hikmah yang bisa diambil (meski sedikit)

Rating 4.5/10

Hati Merdeka [2011]


Finally, seri pamungkas dari trilogi Merah Putih ini rilis juga dipasaran pada 9 Juni kemarin dengan judul Hati Merdeka. Tetap disutradarai oleh Yadi Sugandi dan Connor Allyn. Lalu, apakah yang ditawarkan dari naskah olahan duo Connor dan Rob Allyn ini memenuhi ekspetasi sebagai sebuah seri akhir yang memuaskan dahaga dari rangkaian perjalanan Amir dan kawan-kawan melawan para penjajah?

Dan jawabannya adalah: TIDAK!

Entah kenapa, gue rasa ekspetasi gue terlalu berlebihan saat menonton film ini. Film ini nggak buruk. Sangat jauh dari kata itu. Tapi bukanlah sebuah akhir dari penutup trilogi yang diharapkan. Hati Merdeka berakhir dengan anti klimaks. Dan sangat hollywood sekali.

Dari segi penceritaan gue gak yakin orang yang belum nonton seri sebelumnya bakalan ngeh meski sudah dimasukan adegan flashback sekilas. Tapi gue, sebagai orang yang sudah menyaksikan sejak awal, tentu sudah sangat mengerti. Jadi nggak perlu berpikir lagi.

Cerita pada babak final ini berjalan sangat biasa saja. Gue akui karakterisasi yang dibuat oleh duo Allyn untuk tokoh-tokoh vital seperti Amir (Lukman Sardi), Senja (Rahayu Saraswati), Tomas (Donny Alamsyah), Marius (Darius Shinathrya) dan Dayan (T. Rifnu Wikana) semakin dewasa dari dua seri sebelumnya. Dan itu wajar. Tapi dari segi spesial efek, aksi baku hantam dan ledak-ledakan, please forget it. Masih oke seri kedua meski itupun banyak kekurangannya. Boleh dikatakan adegan ditengah lautan bisa tampak keren bagi perfilman indonesia. Tapi bagi gue yang sering liat film sejenis milik luar negeri, apa yang ditawarkan Hati Merdeka amatlah melempep. 

Bukannya tak mempunyai jiwa nasionalis dengan membanding-bandingkan. Tapi melihat orang-orang dibelakang layar yang menggarap, dengan nama yang sudah mempunyai kualifikasi tersendiri, apa yang mereka sajikan nggak lebih dari sebuah aksi murahan. Rugi sama nama besar kalo hal kayak gitu bisa dibikin sama anak negeri sendiri. Bahkan di beberapa part gue tau betapa mentahnya efek yang terlihat. Satu contoh perhatikan adegan penembakan Budi yang sangat terlihat kasar. Perhatikan baju Budi, dimana disitu sempat diulang dua kali dan terlihat jelas ada ‘sesuatu’ dibajunya. Gue nggak tau apa namanya tapi kelihatan banget. Haha... sebenarnya hal kecil sih. Tapi gue adalah orang yang suka kurang kerjaan melihat detail film. Jadi hal itu bagi gue sangat mengganggu secara personal.

Beruntungnya para pemeran utama berhasil memerankan karakternya dengan baik. Dan gue kagum sama tokoh Senja. Pemanis film yang memang benar-benar manis dengan raut muka eksotik khas indonesia. Serta dua tokoh baru yang diperankan oleh Nugie dan Ranggani Puspandya. Akting mereka bagus sebagai sebuah debut. Tapi nggak penting. Bahkan dihilangkan dari filmpun nggak berpengaruh banyak.

Salut untuk tata sinematografi yang keren pleh Padri Nadeak serta scoring dari Thoersi Argeswara yang sumpah mampus, bikin gue merinding. Terutama pas adegan berdoa. Juga ketika Senja nyanyi salah satu judul lagu diatas kapal. Bikin gue bangga setidaknya hanya beberapa menit menjadi warga indonesia haha...

Dengan tujuan mulia, Trilogi Merah Putih berhasil membawa semangat nasionalisme bagi para remaja is like me. Tapi dari segi cerita, terutama seri final ini... ya gitu deh. Sangat jauh dari harapan. Berharap nanti bakal ada film sejenis yang lebih oke. Kangen banget liat film perjuangan pahlawan-pahlawan indonesia. Entah itu fiktif atau kisah nyata...

Baca Juga Review: Merah Putih dan Darah Garuda

rating 5/10

Satu Jam Saja [2010]


Bisa dibilang Satu Jam Saja adalah proyek film impian Rano Karno. Dia sangat menyukai lagu ciptaan Sylvia Theorupun itu sehingga dengan penuh semangat menuliskannya menjadi sebuah skenario film layar lebar. And then voila… rilislah film arahan Ario Rubbik ini dipasaran pada oktober tahun lalu. Beragam tanggapan pun datang dari para reviewer guna menunjukkan seberapa nggak asyiknya film ini secara frontal. Including me..

Bercerita tentang persahabatan antara Gadis (Revalina S. Temat), Hans (Andhika Pratama) dan Andika (Vino G. Bastian) yang terjalin sejak SMA. Pada suatu hari Gadis mengetahui dirinya tengah hamil anak Hans. Sayangnya, Hans yang kalut malah menghilang begitu saja. Gadis pun berusaha mengugurkan kandungannya. Tapi niat itu batal ketika Andika datang menolongnya. Andika mau menikahi Gadis karena perasaan bersalah dan mengganggap hamilnya Gadis karena ketidak becusan dia menjaga sahabatnya itu. Dan tentu saja agar Gadis tak mendapat pandangan negative dari orang-orang disekitar atas kehamilannya di luar nikah.

Berita pernikahan Gadis pun sampai ke telinga Hans. Diapun masuk kembali kedalam kehidupan dua sahabatnya itu dengan harapan bisa bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Gadis. Lalu bagaimanakah kisah ini harus diakhiri?

Jujur aja, tema seperti ini tuh klasik banget. Mungkin kalo gue idup di jaman Rano Karno dan teman seperjuangan masih eksis, baru gue bisa ngerasain kalo film ini tuh penting. Dan parahnya, Rano Karno selaku penulis skenario membuat karakter-karakternya berpikiran jaman dulu. Oh pelis, apa iya hamil diluar nikah mesti seribet ini? Dijaman serba canggih yang bahkan keperawanan uda nggak ada artinya lagi (seperti gambaran film-film om Naya). Rano Karno terlalu bertele dalam mengambarkan tiap-tiap adegan dengan dialog nothing yang nggak berdampak apa-apa. Bahkan asumsi gue dia juga bingung merajut kisah yang tampak jelas 'mulai nggak tau arah kemana' ketika sosok Hans dihadirkan kembali. Maksa banget!

Nggak cuma itu, selain cerita yang vintage parah tanpa modernisasi disana sini, cara penyutradaraan sang sutrdara juga ikut-ikutan melodrama kayak ceritanya. Slow motion tanpa tujuan yang jelas. Seringkali scene-scenenya terlihat kosong. Entahlah. Terlihat sangat tak bersemangat sekali. Belum lagi musik scoring yang jarang terdengar. Sekali terdengar malah kering. Tak membawa intensitas apapun.

Beruntung ada Revalina S. Temat yang cantik seperi biasa dan Vino G. Bastian yang selalu all out. Lupakan karakter Hans dan tentunya Andhika Pratama yang ngapain sih disini? At least, Satu Jam Saja bukan film yang buruk. Dengan catatan, beredar ketika nenek-kakek gue masih kinclong. Sekian!

rating 3.5/10

Queen Bee [2009]


Bercerita tentang Queenita (Tika Putri) cewek SMU berusia 17 tahun yang tak begitu menikmati keberhasilan ayahnya, Rahmat Siregar (Mathias Muchus) saat dinobatkan menjadi salah satu kandidat calon pemimpin Negara. Karena hal itu membuat dia semakin jarang diperhatikan. Kebetean pun bertambah parah ketika muncul kawanan tim pengawal calon presiden yang makin mengekang kebebasan Queen. Terutama dari sikap over protektif salah satu pengawalnya (Oka Antara). Beruntungnya Queen masih memiliki sahabat yang enak diajak have fun serta cowok bernama Braga (Reza Rahadian) yang membuat hari-harinya tetap terasa normal.

Semakin dekat dengan masa pemilihan presiden, bertubi-tubi masalah menyerang Queen. Dari dia yang dituduh koruptor cilik karena menggelapkan uang sampe krisis kepercayaan dari sang ayah. Lalu, sanggupkah Queen melewati semua. Melewati hal-hal aneh yang nggak mungkin dialami remaja cewek kebanyakan?

To be honest, gue udah antipati duluan sama film panjang perdana anak didik Hanung Bramantyo bernama Fajar Nugros ini. Hell, kemasan film built in advertisment yang dilakukan Queen Bee terasa sangat menganggu sejak awal produksi. Dimana salah satu brand shampo ternama turut ambil bagian. Tapi nyatanya gue menyesali diri karena melewatkan film ‘penting’ ini begitu saja. Hingga baru menontonnya dipertengahan tahun 2011 lewat DVD.

Sebagai sebuah debut layar lebar, bisa dimaklumi kalau Queen Bee olahan Fajar sangat jauh dari sempurna. Bloopers, plot hole, cerita berlebihan, iklan, pemotongan adegan serta editan yang berantakan cukup membuat kening berkernyit. Tapi semua tertutupi dengan akting, pengambilan shot yang menarik, wardrobe yang keren untuk ukuran cewek gaul serta tema yang unik meski sepintas lalu mirip dengan film Hollywood yang dibintangi Mandy Moore berjudul Chasing Liberty.

Nggak cuma itu, yang membuat Queen Bee begitu penting adalah nilai-nilai demokarsi yang disampaikan dengan semangat anak muda jaman sekarang. Bahkan sangat pas jika saja diedarkan saat ini. Ketika indonesia tengah dilanda banyak masalah dari berbagai segi. Nggak jauh-jauh deh. Sebut aja krisis film. Sindiran yang dilakukan terbilang frontal dan mengena meski kadang terlalu halus hingga pesan yang ingin disampein menguap gitu aja. Coba cek orasi yang dilakukan Queenita, yang sengaja gue catet biar lo rada paham sama apa yang gue maksud serta mengambil sedikit pesan yang ingin disampein Ginatri S. Noer selaku penulis skenario:

Banyak orang bilang kalau kita anak muda dari generasi yang apatis
Mereka salah, kita dari generasi yang apatis dan manja
Kita cuma bisa ngeluh, diem dan berharap akan datangnya orang untuk ngebantu kita
Tapi pada akhirnya semua anak manja harus menjadi mandiri untuk kepentingan hidupnya
Dan kepentingan pribadi anak manja ini pasti akan berhubungan dengan kepentingan orang banyak
Contoh gampangnya deh, bagi kita penting banget kan untuk gak bau badan?
Dan percuma kalo kita doang yang wangi tapi orang lain nggak
Mending wangi semua kan?
Dan gue yakin masalah kita bukan masalah wangi ato nggak

Jadi mau berapa lama lagi kita kayak gini?
Mau berapa lama lagi kita cuma bisa ngomel di blog karena guru gak becus ngajar?
Mau berapa lama lagi kita cuma bisa marah-marah distatus facebook karena indonesia payah?
Atau maki-maki mau pindah jadi warga negara lain karena indonesia nggak sesuai sama negara idaman lo?

Coba kita bayangin kita hidup ditahun 1945, apa kalian yakin indonesia bisa merdeka
Padahal waktu itu fasilitas mereka sangat minim kalo kita bandingin sama indonesia sekarang
Tapi mereka bisa terhubung jadi satu
Karena kepentingan merdeka tiap-tiap orang menjadi kepentingan bersama
Energi yang sama bisa kita genggam kalo kita peduli dengan kepentingan yang lebih besar
Karena kita sekarang mempunyai fasilitas yang jauh lebih maju
Jadi bagi saya ini saatnya indonesia didukung oleh anak muda terbaik yang mau mementingkan bangsanya!

See, Queen Bee adalah hiburan yang menyegarkan dan benar-benar bisa dinikmati oleh remaja sekaligus orang tua. Lupakan soal kekurangan yang menggerogoti. Karena film masih bisa dan layak untuk diapresiasi. Well, sekali-kali indonesia perlu dihadiahi tontonan bermutu seperti ini. Kita tunggu saja film sejenis yang diharapkan lebih cerdas!

rating 6/10

Nazar [2009]


Didepan kedua temannya, Cindy (Jessica Iskandar) bernazar akan menikah dengan tukang penjual ketoprak bernama Jajat (Ytong Club 80’s) jika dia memenangkan hadiah utama berupa mobil dari undian botol minuman yang ia beli. Siapa yang menyangka keisengan tersebut malah menjadi kenyataan. Cindy bener-benar mendapatkan sebuah mobil. Namun bukannya melaksanakan nazar, Cindy malah melupakan hal itu.

Dan kesialan demi kesialan pun menimpa dirinya. Bukannya kapok, Cindy justru cuek bebek. Hingga batas kesabarannya menghadapi bertubi-tubi kesialan pun habis. Cindy akhirnya menuruti nasihat teman-temannya, Rani (Adelia Rasya) dan Dhea (Renata Kusmanto), untuk mencari Jajat dan meminta supaya segera dinikahi agar kesialan gara-gara nazar mautnya berhenti. Tapi itupun nggak mudah karena Jajat sendiri akan segera menikah dengan gadis pilihannya.

Film berjudul Nazar yang skenarionya ditulis oleh Chairul Rijal ini disutradarai oleh Sofyan D. Surza yang pernah menggarap Suami-Suami Takut Istri satu tahun sebelumnya dibawah bendera production house yang sama; MVP Pictures.

Sebagai film bergenre komedi, apa yang ditawarkan oleh Nazar cukup menarik meski nggak baru-baru banget. Masih teringat premis serupa pada film hollywood yang dibintangi Lindsay Lohan berjudul Just My Luck. Sayangnya, tema semenarik itu dieksekusi dengan nggak niat dan asal-asalan. Seperti jalan cerita yang kadang nggak memakai logika meski sebenarnya cukup dimaklumi mengingat ini komedi. Akting Jessica Iskandar yang lebay sehingga terlihat cukup menjijikan dibeberapa part. Serta teknik penyutradaraan yang masih sangat sinetronis dengan segala pernak-perniknya.

Gue akui, gue cukup terhibur dengan rangkaian komedi yang ditawarkan meski ada bagian yang bikin gue mengernyitkan dahi saking garingnya. Tapi hal itu tetep nggak mampu menutupi betapa buruknya standar tivi yang disajikan film ini. Harusnya Sofyan D. Surza lebih bisa membedakan daripada penontonnya mana film yang dibuat untuk mengisi slot kosong di tivi dan mana film yang dibuat agar bisa menarik penonton untuk berbondong-bondong datang ke bioskop. Rasanya cukup sekali saja melihatnya di tivi dan kemudian lupakan..

rating 3/10

http://www.smileycodes.info

KM 14 [2006]


Film produksi MBS Pictures ini rilis tahun 2006. Ketika sinema indonesia mulai gencar menelurkan film-film meski nggak sebanyak dan senyampah sekarang. Tapi tanda-tanda ancurnya sudah bisa dilihat dari film yang nggak bisa disebut film ini. Lebih tepat dibilang salah satu keping cerita dari acara musyrik “Ooo Seram” yang pernah ditayangin ANTV ditahun 2009 tapi dalam versi parodi. Yes, bukan maksud gue KM 14 memparodikan sekumpulan cerita horor abal-abal yang sempet hapenning di tivi itu. Tapi film ini bisa dibilang lebih parah dari acara yang barusan gue sebutin, meski KM 14 sendiri lebih membawa filmnya kearah drama suspense super nanggung.

Bercerita tentang tujuh sahabat yang menamai diri mereka dengan “Bomb Fire” (sumpah nama geng yang alay jaya. gue yakin penulis ceritanya sangat norak untuk ukuran manusia yang pernah hidup ditahun 2006). Tepat dihari ulang tahun Anna (Jian Batari) terjadi sebuah ledakan yang menewaskan salah satu teman mereka.

Beberapa hari kemudian pasca insiden tersebut, kedua orang tua Anna meninggal. Yang membuat Anna mengiyakan ajakan pamannya, Rusdi (Thomas Joseft) untuk menenangkan diri di villa mereka. Nggak lama setelah itu, Tasya (Ardina Rasti) mendapat telepon dari Anna yang tengah ketakutan dan meminta pertolongan. Spontan, Tasya membawa teman-teman yang lain untuk menyusul dan menolong Anna ke villa. Dimana letak villa itu berada setelah kilometer 14.

Sinopsis diatas murni bikinan gue karena sinopsis resminya sungguh keterlaluan goblok. Timelinenya sangat jauh dengan logika. Ya, harusnya gue maklum karena dari awal film ini sudah mendepak logika dalam bercerita yang baik dan benar. So, harap maklum kalo gue juga rada bingung membuat seperti apa bentuk sinopsis yang runut.

Penulis skenario film ini, Chadijah Mastura, kayaknya cuma lulusan TK karena ngasal banget kalo bikin cerita. Ditambah dengan dialog yang super chessy makin membuat gue bingung antara ingin tertawa atau menangis. Sebenanya nggak ada yang salah kalo mau bikin film bertema suspense yang sangat jarang tersentuh sineas lokal. Tapi pelis dong, kalo nulis pake otak. Dan gini deh jadinya kalo nulis sambil boker. Bahkan hanya dengan durasi 10 menitpun Ben Hernandez selaku sutradara bisa menyelesaikan film ini.

Nggak cuma itu, KM 14 semakin menjijikan dari soal akting, sinematografi, scoring serta pengeditan alur flashback yang kayak editan film adik gue yang masih balita. Sangat jauh jika harus diberi label film bioskop. Dan baru di film inilah ada dua produser yang ikutan narsis. Sayangnya akting mereka nggak jauh beda sama artis yang di cast. Please welcome, Radja Simatumpang dan Thomas Joseft. Eh ralat, please welcome and there goes..

rating 1/10

http://www.smileycodes.info

Pelet Kuntilanak [2011]


Awal bulan, persis tanggal satu, om nayato udah sukses meneror kotoran ke jaringan 21 di negara gue, indonesia raya tercinta. Dengan judul film yang awalnya nggak penting memakai Pelet Celana Dalam dan berubah makin nggak penting menjadi Pelet Kuntilanak setelah mendapat banyak protes. Asumsi gue sih emang sengaja dibikin sensasi biar kena protes. Cih, tai banget sih! (Eits, sabar Bee, belum waktunya sadis. Ini kan masih prolog).

Sebenarnya gue males ya nulis review ini. Serius! Gue takut lepas kontrol setelah beberapa bulan gue nggak memanggil anjing atau menyebut nama anjing di review karena emang film yang gue tonton nggak buruk-buruk amat. Tapi untuk kali ini gue sudah nggak bisa nahan kesabaran. Bahkan gue udah berani sumpah keramat KALO GUE GAK BAKAL NONTON DAN REVIEW HOROR PRODUKSI NAYATO ANJING LAGI!! Pegang janji gue ya, guys.

Gini deh ya, film itu kan dibuat untuk ngehibur. Seseram-seramnya setan, seromantis-romantisnya drama percintaan, segaring-garingnya komedi slapstik, pasti tujuannya cuma satu: buat ngehibur. Tapi apa yang dilakukan oleh production house milik insan film sesat indonesia kedua setelah kk dheeraj kali ini sungguh TAI yang seTAI-TAINYA.

Sumpah, baru 10 menit duduk dibioskop gue udah nggak tenang. Perasaan gue udah campur aduk antara pengen boker, muntah, jeduk-jedukin kepala ke tembok, gigit kursi, sobek layar atau gantung diri. Karena film ini sangat nggak layak konsumsi. Oke, gue maklumi para pemainnya, terutama muka Debby Ayu yang sangat gak enak dilihat karena penuh bintik-bintik (meski bukan maunya Debby Ayu, tuh muka sangat mengganggu. dia artis kan? Harusnya bisa rawat itu muka deh). Tapi gue nggak bisa memaafkan apa yang telah dilakukan oleh sutradara kelas kakus bertitel Koya Pagayo atau Nayato atau apalah sejuta nama kloningan dia yang sangat menjijikan. Yang pasti sutradara TAI dan semua-muanya yang mengatasnamakan film horor esek-esek nggak jelas kayak gini pantas masuk neraka. Gue nggak peduli lo dapet makan dari sini. Karena apa yang lo hasilin sungguh nyiksa penonton lahir batin. Gue, maki-maki kayak gini tentu punya alasan karena filmnya emang jelek banget. Bahkan nggak bisa disebut film deh. Mungkin bisa juga disebut film yang diedarkan untuk tikus-tikus got. Nah, kayaknya yang itu baru cocok.

Cerita filmnya tuh dangkal, tentang 3 anjing betina yang sok-sok nggak peduli soal keperawanan. Yang sok-sok penting dengan make pelet dari dukun sok-sok mistik dan akhirnya muncul setan wanita yang sok-sok nyeremin padahal nggak ada apa-apanya. Tuh, dari sini aja udah sampah. Belum lagi dialog-dialog yang super absurd dan pantesnya tuh diobrolin antar tikus-tikus got. Jadi lupakan ceritanya karena emang nggak pantas gue tulis disini.

Nah hal diatas diperparah dengan ulah sutradara anjing yang kayak biasanya. Tapi entah kenapa gue lihat ini yang paling parah dari film dia yang udah-udah. udah ngedit gak bener, timeline loncat-loncat dan scoring basi itu merusak pendengaran dari awal sampe mendekati akhir (iya, gue udah keluar karena nggak tahan pengen bunuh diri). pokoknya semua elemen di film ini nggak ada yang beres deh!

In the end, Pelet Kuntilanak sangat nggak layak konsumsi. Bukan tontonan manusia normal. Pantesnya ditonton sama bangsa hewan-hewan pengerat dan lelembut. Itupun gue gak yakin mereka bakal betah nontonnya. Atau lebih tepatnya tontonan yang dianggap sekelas dengan The Tree of Life yang baru menang Cannes itu oleh Nayato sendiri saking hebatnya dia ngebangga-banggain cara menyutradarai film eh tai macam ini. Sori ye bagi kalian yang uda nonton dan kesindir. Ini sebagai penegas aja bahwa kalian goblok kalo nonton film ini. Gue juga goblok, makanya gue nggak mau kalian ikutan goblok kayak gue gara-gara nekat. Sangat dianjurkan bagi yang ingin mati muda atau orang-orang yang uda hopeless sama hidupnya. sekian

rating -/10

http://www.smileycodes.infohttp://www.smileycodes.info
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...