THE NEXT ANTICIPATED MOVIE


Bosan dengan film yang beredar belakangan ini, yang makin lama makin patut dipertanyakan tingkat kewarasan orang-orang dibelakangnya (nyindir bagi yang merasa, bagi yang nggak, pelis nyante aja gausa kepedean), ada kabar mengejutkan dari segelinitir sineas berbakat yang sudah punya fanbase sendiri dan selalu dinantikan kehadirannya. Terutama tentang proyek film mereka yang patut diantisipasi. Penasaran? Cek ulasan gue dibawah ini!


NIA DINATA: LANGIT BIRU | ARISAN 2

Setelah baru saja mengedarkan secara terbatas film dokumenter berjudul Working Girls, bersama Kalyana Shira Films dan Blue Cater Pillar, Nia Dinata kembali bersiap merilis film musikal anak-anak berjudul Langit Biru yang di produserinya. Kembali menggunakan jasa dua wanita yang sebelumnya pernah bekerja sama lewat film Perempuan Punya Cerita; Melisa Karim dibagian skenario dan Lasja F. Susatyo di bangku sutradara. Bercerita tentang kehidupan sehari-hari dan persahabatan anak-anak SMP. Masa dimana mereka baru saja tumbuh dan mudah sekali terpengaruh.

Nggak cuma itu aja, Teh Nia Dinata juga bakal melanjutkan kisah para kaum sosialita ibu kota dalam sekuel Arisan! Masih tetap di produksi oleh Kalyana Shira yang rencananya bakal rilis akhir tahun sesudah Langit Biru. Tetap dibintangi oleh aktor aktris terdahulu plus karakter baru yang dimainkan oleh Rio Dewantoro, Atiqoh Hasiholan dan Istri Surya Saputra; Cynthia Lamusu. Mungkin kalian bakal bertanya seperti apa cerita sekuel ini nantinya mengingat beberapa tahun sebelumnya pernah muncul Arisan! The Series. Penasaran kan?

AFFANDI ABDUL RAHMAN : NEGERI 5 MENARA | THE PERFECT HOUSE

Novel best seller probabilitasnya untuk diangkat kelayar lebar sangatlah besar. Dan kali ini adalah novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang ikut menyemarakan rangkaian film based on book. Film produksi Million Picture ini ditulis naskahnya oleh Salman Arsito sedang yang duduk di kursi sutradara adalah Affandi Abdul Rahman dan sedang dalam tahap menuju proses syuting setelah melakukan serangkaian audisi mencari pemain yang pas memerankan karakter dalam buku.


Kalau Negeri 5 Menara masih belum ada kepastian kapan tayang, proyek sang sutradara berjudul The Perfect House sudah siap meneror diakhir tahun. Bahkan film bergenre thriller produksi VL Production ini sekarang sudah melakukan world premiere di Puchon International Film Festival ke 15. Setelah melihat trailernya yang sangat hollywood sekali, gue jadi nggak sabar dengan hype film ini di negeri sendiri.

GARETH EVANS : SERBUAN MAUT


Kabar heboh yang membanggakan datang dari film Serbuan Maut (The Raid) garapan terbaru Gareth Evans setelah sukses dengan Merantau. Apa sih yang heboh? You know what guys, bahkan filmnya sendiri masih belum rampung, pihak Sony Pictures berani memegang lisensi untuk diedarkan di luar negeri dan beberapa negara lain. Satu kata, W-O-W! Meski disutrdarai oleh sineas asing, kita patut bangga dengan hal ini. Nama perfilman kita yang nggak jelas jadi ikut eksis man! Harusnya hal kayak gini tuh bisa jadi masukan buat sutradara lain terutama yang sering bikin tai-tai di jaringan 21 (you know what I MEAN). Bikin film yang bener dikit napa? Orang asing aja peduli sama perfilman kita, masa elo-elo yang anak bangasa sendiri malah bikin hal-hal nggak guna demi meriah materi. Eh, sori kalo agak sedikit curcol.

JOKO ANWAR : IMPETIGORE | MODUS ANOMALI


Berita yang lebih heboh datang dari sutradara Joko Anwar. Setelah agak lama nggak bikin film, tahun ini dia mengumumkan dua proyek film terbaru berbau-bau horor berjudul Impetigore dan Modus Anomali yang diproduseri oleh Lala Timothy. Well, judul yang unik dan pasti membuat kita penasaran. Apalagi bikinan Joko Anwar. Hell, filmnya sendiri masih dalam proses syuting yang sedianya dilakukan secara back to back, so, tinggal tunggu surprise aja gimana hasilnya. Kabar terakhir film Modus Anomali yang berbujet 2.5 Milyar telah masuk nominasi 2011 Network Asian Fantastic Films.

UPI AVIANTO: HI5TERIA


Kabar terakhir datang dari Upi Avianto, cewek yang sukses melakukan debut lewat 30 Hari Mencari Cinta ini tengah disibukan dengan proyek film baru yang diproduserinya. Film ini merupakan omnibus horor berjudul Hi5teria. Melihat judul yang memakai angka lima, jelas sekali kalau film yang disutradarai oleh lima sineas muda (yang diharapakan bisa melanjutkan tongkat estafet untuk membuat film bermutu) menampilkan 5 kisah horor. Lima orang itu adalah Nicho Yudifar, Billy Christian, Adri, Harvan, dan Chairun Nissa. Hi5teria sendiri sekiranya bakal rilis awal tahun 2012 seperti yang ditulis oleh Upi lewat akun twitternya.

Well, banyak pilihan film bermutu didepan mata guys. Siap-siap berekspetasi dan ternganga melihat hasil mereka nantinya. Semoga memuaskan!

Tumbal Jailangkung (2011)


Ternyata Chiska Doppert dan Nayato Fio Nuala atau Ian Jacobs atau Koya Pagayo adalah dua orang yang berbeda. Dalam debutnya, lewat film berjudul Missing, mbak Pret (panggilan sayang gue buat Chiska) terlihat masih abu-abu antara itu beneran filmnya kah atau film sang guru. Pun di film Gotcha! beberapa tahun setelahnya. Aura-aura om Naya masih tercium disana-sini. Tapi setelah lama vakum dan muncul dengan dua film teranyarnya di tahun ini, Mbak Pret telah membuktikan bahwa dia memang bukan alter ego. Melainkan wanita titisan om gue, yang telat diberi tongkat estafet, yang pastinya akan melanjutkan kiprah sang guru ketika beliau wafat kelak (amin ya Allah, as soon as possible buanget!). Nggak percaya? Mari kita buktikan lewat review gue kali ini!

Tumbal Jailangkung. Bagi gue bukanlah horor seperti genre yang sudah tergeneralisasi dari sono. Melainkan drama suspense. Karena film ini lebih menitik beratkan pada faktor psikologis karakter bernama Linda (Soraya Larasati) yang mengetahui dirinya telah hamil setelah diputusin cowoknya. Kehamilan Linda bukan akibat berhubungan dengan sang pacar, Richard (Rocky Jeff), melainkan dijadikan pemuas nafsu dua sahabat Richard, Hanung (Romeo Sianipar) dan Galung (Taza Rudman).

Linda jelas galau akut. Usaha bunuh diri dengan membenturkan kepala ke cermin gagal total karena ketahuan sahabatnya, Vena (Violensia Jeanette), serta sepupu Vena yang bernama Ivan, yang memuja Linda dalam diam namun tak pernah disadari oleh cewek itu. Mereka pun membawa Linda ke sebuah villa untuk menenangkan diri. Bukannya tenang, disana Linda malah berjodoh dengan boneka jelangkung yang telah memilih untuk menyalurkan hasrat setan dalam diri Linda untuk menuntut balas.

Naskah olahan Aurellia tak menawarkan sesuatu yang baru. Dia hanya sibuk menyulam rangkaian benang merah dari film Jelangkung, Exorcism, Kuntilanak, The Grudge dan Ringu. Apa yang tersaji di layar asli kreasi mbak Pret. Dia mencoba berimajinasi sekuat tenaga dengan bertapa di gua selama tujuh hari sepuluh malam (?) dan hasilnya, taraaa... nggak jauh-jauh dari kata “ini sinetron dibawa ke bioskop, atau bioskopnya nayangin sinetron?”. Karena dengan durasi yang cuma seuprit, film yang diproduseri oleh Lucki Lukman Hakim ini (eh, dia siapa ya, kok eksis di blog gue?) serasa seabad lamanya. Ritme lambat dengan banyaknya adegan plus dialog nggak bernas.

Sebenarnya gue dari lima menit awal udah pengen aja gitu pura-pura salah masuk studio lalu pindah ke foodcourt. Lihat deh adegan awalnya tuh maksa abis. Kata guru gue, teknik kamera yang dipake out of focus. Masalahnya kalo digunakan untuk adegan yang singkron sih gapapa. Lha ini? Malah bikin pusing. Mungkin maunya mbak Pret pengen kelihatan keren kayak film-film Nolan (aduh kejauhan kalee...) tapi hasilnya malah kayak lagi liat video rekaman adek gue lagi nyanyi di kamar mandi. Itupun masih bagusan adek gue kemana-mana.

Dari segi akting sangat beragam, unsur sinetronisme cek akting Rocky Jeff dan Violensia. Unsur gak niat cek akting cover boy Danny Weller dan dua bule nyasar yang kayaknya diganti sama mpok atiek dan mpok nori kayaknya nggak masalah. Sedang Soraya nggak buruk-buruk amat!

Gue nggak ngerekomendasiin film ini. Lo mau nonton terserah, nggak juga terserah. Nontonpun paling ya gitu doang. Mudah dilupakan. Nggakpun juga masih banyak film lain. Nonton film yang ada guenya mungkin (nanti, 100 tahun lagi rilis!). At least, posternya menjijikan banget yak? Menipu tuh! Mungkin biar dikira film esek-esek apaan tau. Tapi film ini gak ada adegan gitu-gituannya. Ada sih penampilan bule pake bikini. tapi gue kecewa karena taunya malah di blur. Mbak Pret pilih bermain aman rupanya. Hmm... boleh deh. Cukup tau aja.

Rating 1.5/10

Catatan Harian Si Boy [2011]


“kalau lo kabur sekarang berarti lo simpen tai disini.. nanti lo juga bakalan lempar tai ditempat lain juga.. dan lama-lama dunia ini bakalan penuh sama tai lo!" – Andi

Di tahun ini, menginjak semester kedua, baru 2 film indonesia yang gue kasih skor 7.5/10 alias ajib alias layak banget di tonton. Film itu adalah “Rumah Tanpa Jendela” dan “?” meski masih memiliki kekurangan tapi mampu tertutupi dengan baik. Sedang film yang lainnya masih aja sampah dan lainnya lagi masuk kategori lumayan. Namun kali ini, bahkan belum sempat mereview lebih dalam, gue uda berani teriak: “INI DIA FILM ANAK NEGERI YANG GUE CARI DAN DICARI BANYAK ORANG” dan tentu aja langsung dapet rating 8.5/10 dari gue! Lho kok? Baiklah karena nggak lucu kalo gue review cuma satu paragraf gini doang, mengutip dialog di film ini, "gue mesti selesein apa yang udah gue mulai..", mari baca review selengkapnya.

Hell yeah, Catatan Harian Si Boy. Merupakan debut sutrdara muda bernama Putrama Tuta yang mungkin uda bisa gue sejajarkan dengan sutrdara tenar lainnya. Dan gue yakin, nasibnya bakalan cemerlang kalo aja nggak terjebak sama dinamika sutradara kancut kekinian. Berdasar naskah duet Priesnanda Dwisatria dan Anggy Ilya Sigma yang sukses membuat siapapun nggak mungkin untuk nggak jatuh cinta sama jalinan cerita sejak durasi baru dimulai.

Mungkin kalian pernah ngendeger ato senggaknya baca di majalah film kalo pernah ada sesuatu yang happening ditahun ’80-an. Yaitu era ketika bokap nyokap kita masih eksis. Ada film berjudul Catatan Si Boy yang diangkat dari sandiwara radio dan disutradarai oleh almarhum Nasri Cheepy. Lalu, apakah CHSB ini merupakan sekual ato remake film yang dulu dibintangi oleh Onky Alexander, Dede Yusuf dan Paramitha Rusady itu? Jawabannya sepertinya cukup membingungkan. Disebut bukan sekuel kok nyambung sama film terakhir. Disebut remake kok aneh banget. Jadilah gue dan mereka menyebutnya sebuah regenerasi dari pendahulu dan berharap mampu menyamai track record happening tiga dekade silam, mengikuti kisah boy sampe ke sekuel-sekuelnya.

Menilik dari segi cerita sebenarnya yang ditawarkan oleh duet penulis scenario CHSB tergolong basi to the max ya. Tapi itu nggak membuat siapapun bakalan antipati. Karena kebasian sebuah film bakal berujung manis kalo proses eksekusi dan segala pernak-perniknya dibuat semenarik mungkin. Dan inilah jawabannya!

Sejak awal film berjalan, kita sudah disajikan dengan sebuah tontonan yang berbeda. Benar-benar nggak nyangka kalo ini loh film anak bangsa. Sangat Hollywood sekali. Jadi nggak salah kan kalo mutu Indonesia dengan filmnya sedikit terangkat berkat hadirnya film ini. Pergerakan kamera begitu dinamis, pencahayaan serta sinematografi tergolong diatas rata-rata. Production valuenya cukup bisa diacungi jempol. Amaze deh!

Para departemen aktingnya juga jawara. Dari Ario Bayu, Carissa Puteri, Poppy Sovia (ehem.. mantan gue *abaikan*), Abimana atau yang dulu dikenal dengan nama Robertino, Albert Halim sampe Tara Basro. Yang gue jamin bakalan jadi idola remaja masa kini. Serius! Akting mereka begitu mumpuni meski kadang terlihat kurang lepas di beberapa bagian. Contohnya Albert Halim dan Carrisa Puteri, diawal terlihat kurang konek, tapi lama-lama enjoy juga dilihat.

Nggak cuma bintang-bintang baru, emak babeh yang demen sama seri dahulu juga nggak bakal dibuat manyun karena masih ada benang merah dan tentunya penampilan karakter vital dari film terdahulu seperti Onky Alexander, Btari Karlinda dan Didit Petet. Cuma yang bikin gue kerutin jidat, kemana Ayu Azhari yang berperan jadi Nuke? Karena hampir disepanjang film wajah Nuke sengaja nggak dilihatin. Apakah Ayu nggak mau main film ato gimana? Yasudahlah.. yang pasti salut buat artis yang berperan jadi Nuke. Hehe... Nggak ketinggalan ada cameo dari Joko Anwar, Leroy Osmani, Cut Tari (iyes, yang itu..) dan Richard Kevin (yang sebenarnya nggak penting juga kehadiran mereka, namanya juga cameo).

Dari tadi kayaknya gue ngebacot positif mulu ya. Sebenarnya ada beberapa kekurangan sih. Seperti cerita yang nggak fokus soal kisah cinta bersegi antara Satrio-Nico-Nina-Natasha, pencarian si Boy dan persahabatan para karakter. Yang terlihat akhirnya malah cerita bertumpuk kebanyakan plot, ingin dileburkan jadi satu cuma sayang agak kurang nge blend. Malah menurut gue, dengan nggak ada plot pencarian si Boy, film masih tetap bisa berjalan kok. Meski gue yakin nggak akan se-hype ini dampaknya kalo plot soal Boy dihilangkan. Dan judulnya tentu bukan Catatan Harian Si Boy lagi. Tapi tenang aja, kekurangan yang gue sebutin masih bisa tertutupi dengan segala hal menarik yang tersaji.

In the end, you must see film ini! Karena nggak bakalan seru kalo liat nanti versi home video. Lihat di bioskop happening nya lebih kerasa. Serius cing, sangat menghibur. Dan gue yakin lo nggak bakalan rela ketika film mesti berakhir!

“yang nggak penting buat lo, belum tentu nggak penting buat orang lain..” - Natasha

Rating 8.5/10

Kado Hari Jadi [2008]


Awalnya gue nggak menyangka kalau judul film semanis ini ternyata hanya sebuah kedok dari film panjang pertama Paul Agusta yang bergenre thriller. Film dari sutradara yang sudah malang melintang lebih dulu lewat beberapa film pendek ini sama sekali nggak so sweet seperti bayangan awal. Apalagi begitu membaca sinopsis yang langsung menimbulkan rasa penasaran dengan berbagai ekspetasi. Sebrutal apa sih filmnya?

Tertipu dengan judul yang cantik jadi urusan belakang. Toh guepun tetep nekat nonton Kado Hari Jadi yang naskahnya ditulis Dalih Sembiring ini. Cerita dibuka oleh suara dering telepon lalu disusul ketukan di pintu kamar kos Yoga (Rifnu Wikana). Dan setelah pintu dibuka, tau-tau orang di depan pintu itu membiusnya. Begitu bangun dari efek obat bius, Yoga mendapati dirinya tengah berada di sudut ruangan dengan kondisi tangan terikat kebelakang dan duduk disebuah kursi besi. Sementara di depan matanya terdapat sebuah pensil tajam dan silet di atas kepala. What the hell going on? Pertanyaan itulah yang akan terus berkecamuk sampai setidaknya satu jam kedepan. Itupun dengan catatan, kalau kalian tetap bertahan duduk dikursi. Dan dengan setia menyimak kenapa karakter pria diatas bisa tiba-tiba mendapat perlakuan tak menyenangkan seperti itu.

Jujur aja, gue rada eneg sama film yang berbau penyiksaan. Bukan soal seberapa banyak darah yang sajikan, berliter-liter juga gak masalah bagi gue. Yang bikin eneg adalah ekploitasi kekerasan fisik yang terkadang nampak seperti nyata. yang terkadang di shoot secara membabi buta. Untuk ukuran film senada, Rumah Dara masih satu-satunya yang pernah terjadi di ranah perfilman lokal. Gue jerit-jerit, man, liat kesadisan yang sebenarnya nggak seberapa jika dibandingkan dengan buatan sineas luar. Korea misalnya. Lalu gimana dengan film yang masuk dalam seleksi International Film Festival Rotterdam 2009 ini?

Soal urusan teknis seperti pergerakan kamera yang labil (dan baru gue tau kalo katanya disengaja), sound serta gambar yang buram-buram gak jelas to the max, gue masih bisa maklum. Ini film indepeden dengan bujet minimalis, guys. So, cukup menghargailah kalo in the end terlihat kurang sempurna. Tapi gue udah nggak bisa maklum ketika cerita filmnya semakin diikuti semakin gak jelas bahkan almost maksa.

Nggak tau kenapa gue ngerasa pointless sama cerita yang dihadirkan. Terlalu bertele dan banyak karakter nggak penting yang entah dengan tujuan apa di munculkan. Misalnya seperti cameo Ladya Cherryl yang lagi gosip di depan rumah. Singkron gak sih? Trus adegan di kamar yang memperlihatkan cewek SMA serta bacotan dia yang corny ama pacarnya dengan akting pas-pasan. Coba aja kalo karakter lebih diminimalis dan hanya bertumpu pada sosok Yoga, Tika (Kartika Jahja) si cewek psycho, Adam (Jeffrey Sirrie) calon suami Tika dan Irma (Hukla Turagan) pacar Yoga. Pasti film berdurasi seuprit ini nggak akan segitu membosankan. Tapi balik lagi ke soal bagaimana si penulis naskah juga sih.

Lalu yang nggak bisa gue maklumi selajutnya adalah banyaknya bloppers yang cukup mengganggu. Pertama adalah darah, gue sempet jetlag pas salah satu adegan tembok dibor. Oke, itu darahnya kok gitu doang. Terus soal alur penceritaan non linear. Gak masalah sih sebenarnya, cuman yang bikin eneg adalah penempatan gambar bekas siksaan yang nggak jelas dan berbeda antara satu adegan dengan adegan lain ketika shoot menyorot tubuh korban. Apakah ini kekurang jelian dari editornya Lucky Kuswandi atau memang disengaja? Entahlah... Mungkin bagian ini terasa personal karena kekurang kerjaan gue terlalu detail dalam memperhatikan film.

At least, bagi gue yang menarik dari film ini cuma premis dan cerita di 20 menit awal. Selepas itu, gue udah terlanjur bosan dan sama sekali nggak menikmati. Bahkan gue udah nggak peduli dengan nasib Yoga dan kenapa-kenapanya sampe dia bisa kena siksa. Bahkan gue seharusnya nggak perlu merasa tertipu karena adegan slashernya terkesan biasa saja meski Rifnu Wikana sudah berakting semeyakinkan itu.

Rating 3/10

Working Girls [2011]


Masyarakat Indonesia yang demen sama film dokumenter bisa dihitung pake jari. Para penonton kekinian susah banget diajak melek sama film-film yang dibikin demi ‘sesuatu’. Nah, bisa gue bilang Nia Dinata adalah salah satu perempuan yang berani menentang tren saat ini—seperti yang sudah dan akan terus dia lakukan. Maka munculah film dokumenter yang di produserinya berjudul Working Girls. Merupakan proyek kerja sama antara Kalyana dan Ford Foundation bertajuk “Project Change”; sebuah proyek yang bertujuan membentuk sineas-sineas muda berbakat, especially dibidang film dokumenter.

Working Girls sendiri adalah sebuah antologi yang didirect oleh lima sineas muda hasil workshop. Dibagi dalam 3 segmen berbeda namun memiliki satu benang merah: kisah wanita yang bekerja demi perubahan besar untuk hidupnya. Segmen pertama berjudul “5 Menit Lagi Ah.. Ah.. Ah..” besutan Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari. Menceritakan kisah Ayu Riana pasca menyabet juara pertama ajang pencarian bakat bertajuk Stardut yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun tivi swasta beberapa tahun lalu. Kisah tentang bagaimana dia bertahan agar karirnya bisa berjalan dan nggak dilupain orang begitu saja.

Segmen tengah diisi dokumenter arahan Yosep Anggi Noen berjudul “Asal Tak Ada Angin”. Bercerita tentang Mak Kamek dan orang-orang disekitarnya yang merupakan pegiat kesenian tradisional jawa berlabel ketoprak. Dimana orang-orang ini berjuang melawan arus, menunjukkan eksistensi mereka yang terlupakan bahkan dipandang sebelah mata bagi sebagian besar orang demi menyambung hidup.

Daud Simolang dan Nitta Nazyra C. Noer membesut segmen terakhir dengan judul “Ulfie Pulang Kampung”, mengisahkan perjuangan seorang waria bernama Ulfie dalam mencari nafkah demi keluarganya di Aceh dan berusaha memperjuangkan nasib teman-teman sesama waria dari ancaman bahaya HIV/Aids.

Jujur aja, gue menonton film ini tanpa ekspetasi. Pas memesan tiket pun gue sampe ribut sama mbak-mbak yang jaga tiket dan manajer bioskop gara-gara mereka nggak mau muterin film kalo yang nonton cuma satu orang secara sejak dua hari nih film sepi penonton. Heaven yeah, manajer bioskop akhirnya berbaik hati memutarkan meski cuma gue yang nonton. Nggak tau deh gimana girangnya gue kemaren. Rasanya bangga aja gitu, demi sebuah film gue pake ngotot segala. Hal-hal kayak gini emang rare banget ya. Karena baru kali ini gue beneran ngerasain susahnya terjepit dilema dari sebuah film miskin penonton. Yes, karena miskin penonton itulah, Working Girls cuma diedarkan di empat bisokop. And lucky me, Malang termasuk diantara 4 bioskop itu. Makanya gue gak sia-siain kesempatan istimewa yang ada.

Actually, niat Nia Dinata sebenarnya cukup simpel, pengen ngebuka paradigma pikiran masyarakat soal kaum hawa. Maka dipilihlah tiga kisah wanita diatas untuk diangkat menjadi sebuah tontonan bermutu yang diharapkan dapat menginspirasi dengan segala alternatif penyelesaian yang ada. Tapi apakah niat itu berhasil?

Disegmen pertama dan kedua, gue ngerasa pointless. Enam puluh menit hasil kotor yang disetorkan oleh para sineas pada Nia Dinata untuk kemudian di edit agar bisa diambil poin-poinnya malah mubazir. Konteks yang disajikan memang sudah jelas dari awal melalui tagline dan judulnya. Tapi esensi yang ingin disampaikan kepada penonton nggak bakalan mudah diserap selain “ini lho, kisah si ayu, pemenang kontes dangdut-dangdutan itu” atau “ini lho kisah para pelakon ketoprak yang sangat crowded dan menyedihkan” cuma itu. Sisanya diisi oleh hal-hal nggak meaning yang harusnya cukup 20 menit saja bisa selesai tersaji.

Beruntungnya pada segmen ketiga esensi yang dimaksudkan itu sukses menyihir. Ritme berjalan cepat dan mudah dicerna. Poin-poin sudah terekam jelas sejak awal meski ada sedikit lubang yang kemungkinan nggak dimasukan saat proses penyuntingan sehingga sedikit mengganggu.

Kalau dinilai dari segi penyajian gambar jelas pada segmen kedua yang benar-benar enak dinikmati gambarnya. Segmen pertama berasa lagi liat hasil rekaman lipsync adek gue pake kamera hp. Sedang segmen terakhir biasa-biasa saja. Standar lah…

At least, dibalik kekurangan diatas, Working Girls tetaplah film yang patut di tonton dan diresapi maknanya. Setidaknya bisa membuka sedikit pikiran kita, kaum adam, untuk memperlakukan dan menghormati kaum wanita dengan lebih baik.

Rating 4/10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...