Tendangan Dari Langit [2011]


“Menengo kon, rame ae!” - Wahyu

Gue melihat karya terbaru dari sutradara kenamaan Indonesia ini tanpa ekspetasi apapun. Bahkan cenderung antipati. Entahlah, mungkin efek dari film Ayat-Ayat Cinta yang membuat gue sedikit muak dan nggak respek. Tapi setelah melihat karya Hanung Bramantyo sesudah film dengan jumlah penonton 3.581.947 tersebut seperti “?” yang masih menyisakan kontroversinya hingga tulisan ini gue publish, serta Lentera Merah (2006) dan Get Married (2007), gue yakin dan memaklumi, harusnya dulu nggak perlu membenci sosok Hanung sebegitunya. Mungkin dalam Ayat-Ayat Cinta dia hanya terpeleset, untuk kemudian bangun kembali. Dan itu terbukti. Meski sempat terseok dengan film yang mudah terlupakan. Hanung bisa membuktikan bahwa dia memang layak menjadi sutradara yang karya-karyanya patut kita tunggu dan apresiasi.

Tendangan Dari Langit, adalah film terbaru sekaligus garapan kedua Hanung di tahun ini. Bercerita tentang perjuangan from zero to hero seorang remaja kampung bernama Wahyu (Yosie Kristanto) yang mencintai bola melebihi apapun. Sayang, bakat itu tak pernah diakui oleh sang Ayah (Sujiwo Tedjo). Bahkan dengan tegas beliau melarang anaknya bermain bola. Namun dengan dorongan sang paman, Hasan (Agus Kuncoro), yang melihat ada bakat besar dalam diri keponakannya itu, Wahyu akhirnya tertarik untuk melanjutkan mimpinya menjadi pemain bola profesional.

Plot yang basi. Jelas. Rentetan kisah from nothing to something memang nggak bisa lepas dari film bertema seperti ini. Tapi dengan lihai, Fajar Nugros selaku penulis skenario mampu meracik keklisean yang ada menjadi menarik untuk diikuti. Lihat saja, Tendangan Dari Langit tampak begitu fresh dengan segala bumbu yang menghiasi seperti dimasukannya unsur cinta monyet, persahabatan dan hubungan keluarga. Karena Fajar mampu menampilkannya dengan porsi yang pas dan tidak berlebihan. Meski dibeberapa bagian terlihat kurang matang. Seperti kisah cinta segitiga antara Wahyu, Indah (Maudy Ayunda) dan Hendra (Giorgino Abraham) yang terasa hanya untuk mengulur durasi.

Didukung jajaran ensemble cast yang mumpuni, membuat film ini makin berkilau. Sebut saja Yosie Kristanto yang begitu meyakinkan lewat debutnya. Serta beberapa karakter pendukung yang diperankan oleh para pendatang baru maupun aktor aktris lawas yang rupanya mampu memberi highlight tersendiri. Nggak boleh ketinggalan penampilan spesial dari Irfan Bachdim dan saudara iparnya, Kim Kurniawan, dimana selain mampu menjadi taktik dan strategi penjualan filmnya, rupanya mereka bisa berakting tidak mengecewakan sebagai dirinya sendiri

Jadi nggak heran, kalau siapapun bakal mengalami gejala jatuh cinta pada pandangan pertama sama film yang soundtracknya di nyanyikan oleh band Kotak ini. Atau guenya aja yang lebay? Entahlah, ada euphoria tersendiri yang terjadi ketika gue nonton film ini. Dimana satu studio sumpek dipenuhi penonton di hari pertama pemutaran reguler. Karena berasa lagi nggak kayak nonton film, tapi nonton pertandingan bola. Haha.. gimana nggak rusuh tuh, habis seisi studio pada heboh teriak “GOOL!!” bahkan ada yang tepuk tangan saat ada adegan bola masuk ke gawang.

Oke, dari segi cerita, lumayan. Ekskusi sang sutradara, keren. Pemilihan soundtrack, dahsyat. Sinematografi dari Faozan Rizal, ciamik! Akting, cadas! Terus apalagi ya? Jadi bingung gue saking speechlessnya pas nonton film ini. At least, sebagai tontonan keluarga, Tendangan Dari Langit adalah sebuah film dengan paket komplit. Ada drama yang mengharu biru, komedi, tegang, semua campur jadi satu. Atau malah gue prediksi bisa jadi film terbaik tahun ini. Salut aja deh untuk orang-orang dibelakang layar Tendangan Dari Langit. Bikin gue bisa sedikit bangga jadi orang Indonesia kalau film yang di produksi modelnya kayak gini. Bukan kayak... ah, males bahas deh. Ayo, segera datang ke bioskop!


Rating 8.9/10

Di Bawah Lindungan Ka'bah [2011]


“Disaat kita sendirian dan tiada seorangpun kecuali Allah. Ingatlah satu hal, Allah saja, sudah lebih dari cukup.” – Emak

Bersetingkan tahun 1920-an di tanah Minang, hiduplah dua manusia yang tumbuh besar bersama: Hamid (Herjunot Ali) dan Zainab (Laudya Chintya Bella). Pun seperti kata pepatah jawa, cinta lahir karena terbiasa, rasa ingin memiliki juga tumbuh diantara mereka. Sayangnya angan itu harus terpendam karena perbedaan kasta. Zainab adalah putri dari Haji Jafar (Didi Petet), pengusaha terpandang di kampungnya. Sedang Hamid adalah anak dari seorang pembantu yang bekerja di rumah Zainab. Masalahnya, bagaimana mungkin anak seorang pembantu berani meminang anak sang majikan? Lalu bagaimanakah kisah cinta Hamid dan Zainab? Dapatkah takdir menautkan cinta dan mimpi mereka sampai ke Ka’bah?

Terus terang, sosok ulama besar Indonesia sekaligus penulis populer pada jamannya bernama Buya Hamka ini baru eksis di pikiran gue setelah media massa heboh memberitakan bahwa MD Pictures bakal mengadaptasi kisah roman tulisan beliau yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah ke layar lebar. Apalagi dengan bujet fantastis yang digembar-gemborkan. Seolah ingin mendobrak tradisi bahwa penonton juga harus tahu jumlah dana yang dikucurkan untuk sebuah film. Dimana biasanya para sineas enggan mengkonfirmasi soal itu. Gue makin niat ngebrowse seperti apa sih novelnya. Dan gue menemukan fakta bahwa pada tahun 1977 sutradara bernama Asrul Sani pernah lebih dulu mengadaptasi novel setebal 30 halaman. Bedanya, film yang dibintangi oleh Cok Simbara dan Camelia Malik tersebut berjudul Para Perintis Kemerdekaan dengan perubahan vital disana-sini namun tetap memiliki tema yang sama. Lalu bagaimana dengan adaptasi yang dinahkodai oleh Hanny R. Saputra ini?

Jujur, dari awal gue udah gak respek sama film ini. Apalagi ada nama Hanny dengan track record penyutradaraanya yang makin menurun disetiap film. Tapi nyatanya, kekecewaan gue sia-sia. Karena entah gimana cara, Hanny membuat film yang naskahnya ditulis oleh duet Armantono (lagi) dan Titien Wattimena ini begitu filmis. Jauh dari kesan sinetronish seperti karya dia sebelumnya. Sayangnya usaha Hanny seperti sia-sia karena naskah yang dia eksekusi banyak memiliki lubang hingga membuat film ini makin aneh untuk dinikmati.

Entah untuk mengulur-ulur waktu atau apa, banyak sekali adegan gak penting yang juntrungannya bernada too much. Seperti adegan tertawa-tertawa di awal film yang banyak membuang slot tanpa tujuan yang jelas ditambah proses dubbing suara tawa yang kasar banget. Trus munculnya karakter Arifin (Ajun Perwira) yang berasa cuma sumplan ga berarti meski konfilk yang dihadirkan dari karakternya amatlah vital. Plot soal sakitnya Zainab dan Hamid yang tiba-tiba tanpa dijelaskan kenapa mereka bisa tiba-tiba seperti itu. Dan tentu saja, iklan-iklan yang dengan seenaknya muncul. Gue nggak tau apa pentingnya iklan itu ada disitu. Yakin banget penonton keluar bisokop bakal langsung beli produk yang ditampilkan setelah melihatnya. Apalagi penyajiannya dilakukan secara frontal seperti itu. Harusnya Hanny bisa lebih menyiasati agar iklan kacang, cokelat dan obat nyamuk itu nggak terlalu annoying dilihat. Nggak salah kalo akhirnya film ini jadi keliahatan sangat tolol. Pesan singkat aja buat Pak produser yang terhormat, "Anda telah merusak film anda sendiri dengan cara yang super duper tolol!" Nggak heran kalo satu studio tertawa terbahak.

Nggak cuma itu aja, harusnya kalo untuk pangsa dalam negeri nggak perlu lah dikasi subtitle inggris segala. Boleh sih boleh aja, asal kalo bikin subtitle yang bener, jangan ngaco. Udah muculnya kadang cepet, kadang lambat, bahkan nggak muncul dan gue asumsiin kalo tukang translate bahasa inggrisnya lupa bawa kamus atau dengan bodohnya ngga buka google, gramarnya dibikin seenaknya sendiri alias ngaco.

Dari segi akting gue nggak ada masalah, Bella dan Junot meski rada kurang chesmistry namun mereka bisa tampil prima. Lihat saja beberapa adegan emosional yang sukses dihadirkan berkat mimik mereka. Nggak lupa juga dengan para pendukung yang bermain sesuai porsi.

At least, film ini masih bisa dinikmati jika kalian mampu memaafkan kecerobohan ups.. maksud gue kesengajaan yang dilakukan orang-orang dibelakang layar. Dan untuk masalah lain seperti soal dialek Minang yang kata temen gue ngasal abis itu, gue enggan berkomentar karena nggak tau juga gimana dialek sebenarnya seperti apa. Dan nggak mau sok ngejudge biar kelihatan lebih pintar haha…

Bagi gue, masih mending film ini dibanding Love Story yang rilis di awal tahun. Meski sama-sama beritme lambat, gue nggak merasa bosan sama film yang scoringnya dikerjakan oleh Tya Subiakto dengan begitu pas dan megah meski terkadang sedikit salah latar mengingat film ini berseting tahun 1920, bukan 2011. Jangan lupa dengan seting art, dekorasi dan properti yang juara, meski pas adegan di Ka’bah kasar banget ngeditnya. Gue tau loh kalo pake green screen. Juga beberapa lokasi yang meningatkan gue akan film Love Story. Atau jangan-jangan film ini numpang syuting pas Hanny tengah menggarap film yang dibintangi Acha Septriasa dan Irwansyah tersebut? And then, guepun bertanya-tanya, kok gini doang hasilnya dengan biaya yang katanya mencapai 25 milyar? Gini doang? Cih, malah lebih meyakinkan film Ayat-Ayat Cinta padahal bujet soal jelas berbeda. Namun Hanung dengan pintar mampu menyiasati agar tampak real. Ya sudahlah... kita tunggu saja hasilnya nanti. Mampukah Di Bawah Lindungan Ka'bah memenuhi harapan produser untuk mendapatkan banyak penonton?

Rating 4.3/10

5 Elang [2011]


Keputusan sepihak ibu dan ayahnya untuk pindah rumah dari Jakarta ke Balikpapan membuat Baron (Christoffer Nelwan) kesal. Karena hal itu membuat dia kehilangan sahabat dan hobinya bermain RC. Apalagi menjelang lomba RC yang kian dekat. Tapi sebagai anak kecil, apalah yang bisa dia lakukan selain menuruti kemauan kedua orang tuanya meski dengan sangat berat hati. Makanya nggak salah kalau begitu sampai di Balikpapan, Baron enggan menjalin hubungan dengan dunia luar. Yang diurusi cuma mobil RC nya dan bagaimana cara agar dia bisa kembali ke Jakarta untuk mengikuti lomba.

Namun semua mimpi Baron berubah ketika seorang pramuka supel nan ambisius di sekolah barunya bernama Rusdi (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan) memasukan nama Baron dalam regu inti Pramuka yang akan dikirim dalam kegiatan bumi perkemahan bersama teman-teman lain seperti Anton (Teuku Rizky Muhammad) si gembul yang hobi makan dan Aldi (Bastian Bintang Simbolon) si kecil yang tujuannya ikut pramuka hanya untuk mendekati Sandra, siswi sekolah lain yang berambut indah.

Meski awalnya menolak, Baron akhirnya turut serta dalam kegiatan itu demi sebuah misi khusus. Misi yang akan berhasil bila dia bisa memanfaatkan keluguan teman-teman barunya, termasuk Sindai (Monica Sayangbati), murid dari SD lain. Dimana akhirnya mereka berlima terjebak dalam suatu kasus yang nggak pernah mereka bayangkan. Bahkan nyawa mereka pun terancam bahaya. Sanggupkah anggota 5 elang ini lolos dari ancaman tersebut?

5 Elang adalah debut Rudi Soedjarwo dalam menukangi film bergenre anak-anak. Sekaligus sebagai kado istimewa untuk buah hatinya. Namun tetap saja, seperti ada yang salah dalam eksekusinya. Karena film ini tetap bercita rasa khas film-film drama remaja Rudi sebelumnya. Entahlah.. gue ngerasa nggak ada feel yang ditujukan untuk anak-anak selain fakta bahwa film ini dibintangi oleh pemain cilik berbakat dengan tema yang begitu lekat dengan siswa-siswi sekolah dasar, yaitu pramuka.

Alhasil, selama durasi berjalan gue sama sekali nggak respek sama film ini. 5 Elang terasa begitu membosankan padahal sedang menceritakan sesuatu hal baru yang menarik di layar lebar. Apalagi untuk konsumsi anak-anak dan keluarga. Namun seperti yang gue bilang tadi, konfilk yang ada di film ini, juga karakter-karater yang diciptakan, seperti karakter film remaja kekinian, dengan segala tingkah lakunya.

Ditambah kelewat banyaknya kejanggalan-kejanggalan yang sangat mengganggu disana-sini. Membuat film yang naskahnya ditulis oleh Salman Aristo terasa nggak begitu real. Belum lagi subplot tentang penebangan kayu ilegal yang memang sudah disinggung sedikit diawal dan dibuat berkembang besar diakhir secara tiba-tiba tanpa pengenalan terlebih dahulu, lalu dieksekusi dengan begitu mudah. Plus begitu labilnya pemikiran para tokohnya yang dengan cepat sekali bisa merubah pikiran seenak jidat. Dan jalan menuju perubahan itu pun dibuat dengan begitu mudah seperti membalikan telapak tangan. Oh please...

Beruntungnya akting lima bocah di film ini cukup mumpuni meski rada kaku juga pada durasi awal. Dan kredit tersendiri gue berikan untuk Monica sayangbati. Gak tau kenapa, meski pemunculan karakternya maksa dan hanya untuk pemanis, gue suka akting cool dia. Pun dengan setting yang menyegarkan mata dan scoring olahan Bembi Gusti yang cukup memberi napas tersendiri.

Meski masih ada banyak kekurangan, ditengah mirisnya perkembangan film anak di negeri sendiri, gue tetep salut sama film ini. Karena 5 Elang seolah membawa kembali film bernapaskan anak-anak dengan tema 'terlupakan' untuk dijadikan sebuah bahan jualan yang kemudian akan diingat pesan-pesan moralnya oleh mereka. Ya, khusus anak-anak saja. Karena sajian ini terlalu mengecewakan untuk konsumsi dewasa. Apalagi remaja.  Kecuali mereka datang hanya untuk menemani anak atau saudara kecil yang butuh hiburan.

By the way, masih berminat menonton kelanjutan aksi mereka dalam sekuelnya jika memang nanti beneran dibuat seperti tulisan yang muncul di kredit akhir?

Rating 4/10

Get Married 2 [2009]


Melihat pencapaian prekuelnya yang terbilang sukses di tahun 2007, dua tahun kemudian Starvision kembali memboyong kisah Mae bersama tiga sahabatnya yang rada nggak beres dalam Get married 2. Tetap dibintangi oleh kwartet Nirina-Aming-Ringgo-Desta serta pemain pendukung lain seperti Jaja Mihardja, Meriam Bellina dan Ira Wibowo. Sayangnya karakter Rendy yang dulu dibawakan oleh Richard Kevin, kini digantikan oleh Nino Fernandez.

Cerita terjadi empat tahun setelah film pertama. Dimana Mae dan Rendy yang sudah lumayan lama membina bahtera rumah tangga belum juga dikaruniai seorang anak. Hal itu sedikit banyak membuat Mae gelisah. Mengingat ketiga temannya: Eman, Beni dan Guntoro sudah dikaruniai bayi mungil, sedang dia tidak. Terlebih dengan sikap Rendy yang makin lama makin nggak peduli dan sering meninggalkan Mae sendiri di rumah dengan alasan sibuk bekerja.

Puncak kekesalan Mae terjadi ketika Rendy nggak datang ke pesta perkawinan mereka. Dengan emosi Mae meninggalkan rumah dan memilih tinggal bersama Emak Babenya di kampung. Bukannya selesai, masalah malah semakin runyam saat Rendy ikut tinggal bersama orang tua Mae yang mengultimatum agar putrinya bisa segera hamil atau mereka terpaksa harus bercerai. Sanggupkah Mae hamil dan Rendy mempertahankan keharmonisan keluarganya?

Sebagai sebuah sekuel, Get Married 2 memang telah menawarkan tontonan yang berbeda dari seri pertama. Dari segi cerita yang berdiri sendiri, bahkan nggak perlu ribet kalau belum nonton predesornya, juga penambahan karakter baru untuk menyegarkan suasana dan penambah konflik. Tapi sayang, film yang naskahnya ditulis oleh Cassandra Masardi ini telah kehilangan beberapa poin-poin penting yang terdapat dalam seri awal. Dari unsur komedi yang lebay to the max, bahkan kadang terkesan dibuat-buat, sampai dialog yang nggak bernas. Makanya nggak salah kalau agak membosankan dipertengahan.

Beruntungnya Hanung Bramantyo masih mampu mengeksekusi film ini dengan baik meski ngakunya dia anti kalau menggarap film sekuel. Kerja keras Hanung didukung oleh departemen akting yang semakin solid, membuat Get Married 2 masih tetap dapat dinikmati meski telah kehilangan geregetnya. Entahlah, memang masih ada beberapa joke yang mampu mengelitik urat syaraf. Tapi semakin lama komedi yang ditawarkan terlalu memaksakan sehingga filmnya nggak bisa enjoy dinikmati.

Rating 5/10

Get Married [2007]


"Hidup gue didunia ini nggak ada yang bisa gue banggain. Satu-satunya harapan gue ya akhirat. Siapa tau bisa bahagia.." - Eman

Cuma beda selisih seratus ribu, Get Married arahan sutradara Hanung Bramantyo ini menjadi film paling laris di tahun 2007 dengan perolehan sekitar satu koma empat juta penonton. Mengalahkan sekuel Nagabonar di posisi kedua dan menghempaskan film setan tersetan yang di sepanjang tahun itu terus-terusan meneror perbioskopan Indonesia dengan kualitas yang patut di pertanyakan.

Mae (Nirina Zubir), Eman (Amink), Guntoro (Desta 'ClubEighties') dan Beni (Ringgo Agus Rahman) adalah empat sahabat yang tumbuh dan besar bersama. Herannya nasib mereka pun nggak jauh beda. Dimana empat pemuda yang sewajibnya menjadi harapan bangasa dan negara ini malah terjebak dalam label pengangguran ketika mimpi-mimpi kecil mereka tak pernah terealisasi akibat keadaan.

Bosan dengan perilaku Mae yang luntang-lantung nggak jelas setelah lulus dari sekolah sekertaris, Emak dan Babenya (Jaja Mihardja dan Meriam Bellina) berniat mencarikan jodoh agar lepas dari tanggung jawab menjaga Mae. Sayangnya, jodoh yang mereka dapatkan sama sekali nggak memenuhi standar Mae. Lalu munculah Rendy (Richard Kevin) cowok kaya raya yang tengah mencari cewek dengan tingkah berbeda dari mantan-mantannya selama ini yang kebanyakan satu label meski beda orang. Sayangnya Rendy terpaksa menyerah meski tahu benar Mae juga menyukainya ketika Eman, Beni dan Gun malah memprovokasi agar dia meninggalkan Mae. Lalu bagaimanakah nasib Mae selanjutnya? Dapatkah dia mendapatkan jodoh dan membahagiakan kedua orang tuanya?

Sebenarnya naskah yang ditulis oleh Musfar Yassin ini bukanlah sesuatu yang dahsyat kalo dipikir ulang. Cuma kebetulan ketika penonton Indonesia jenuh dengan sajian horror yang jauh dari kata horror, munculah film ini dengan genre berbeda yang juntrungannya malah terlihat seperti setetes air ditengah tandus dan keringnya gurun pasir. So, nggak salah kalo akhirnya banyak yang mencari alternative pilihan lain dibanding menonton sosok-sosok tak kasat mata dengan tema usang tersebut.

Didukung oleh departemen akting yang begitu mumpuni. Sebut saja kwartet Nirina-Aming-Desta-Ringgo yang mampu berperan dengan sangat luwes serta beberapa pemain pendukung yang menambah ramai suasana. Seolah karakter tersebut memang sudah dibuat untuk mereka.. nggak salah kalo kekonyolan-kekonyolan yang disajikan terbilang cukup mampu mengundang tawa meski sedikit diluar logika dan cenderung slapstik. Tapi tak apalah. Toh, tujuannya hanya untuk menghibur. Rasanya hal yang lumrah selama komedi yang ditujukan nggak lebay.

Film produksi Starvision ini nggak menyajikan sesuatu yang baru diranah hiburan lokal. Namun dia hadir dimomen yang tepat, ketika penonton tengah haus dengan sajian yang monoton. Dan beruntungnya eksekusi dari Hanung cukup bisa membuat semua yang terjadi seolah real. Didukung pula dengan iringan musik dari Slank yang bener-bener megang. Nggak salah kalau siapapun bakalan jatuh cinta. Bahkan juri-juri Festival Film Indonesia.

Get Married nggak ubahnya seperti dongeng usang putri buruk rupa yang akhirnya mendapatkan sang pangeran dengan style kumuhnya ibukota. Disajikan secara apik dan terang-terangan menyindir drama politik yang terjadi kala itu dengan komedi satirnya secara tepat. Great job Hanung!

Rating 7/10

Gaby dan Lagunya [2010]


“Ingin ku coba mencari penggantimu, namun tak lagi kan seperti dirimu oh kekasih...”

Seperti itulah penggalan akhir lirik lagu yang pernah heboh beberapa tahun silam berjudul Jauh (Tinggal Kenangan). Lagu tak bertuan yang muncul dalam bentuk potongan suara seorang gadis bernama Gaby dengan iringan gitar yang diedit-sambung hingga mencapai total durasi 4:03 menit itu beredar lebih dulu di dunia maya. Diunduh beberapa orang, lalu berpindah via blutut hape dan diperdengarkan dari telinga ke telinga hingga akhirnya tersiar kabar rancu yang juntrungannya makin mengada-ada, bahkan berbau mistis. Seperti bagian yang menceritakan bahwa lagu Jauh direkam sebelum sosok bernama Gaby, yang entah fiktif atau memang ada di dunia ini, mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.

Tak pelak pula ketika media besar makin membuat ‘rusuh’ hingga banyak ‘grup band wannabe’ bermunculan serta sibuk mengklaim bahwa lagu tak bertuan itu milik mereka sampai akhirnya dimenangkan oleh Caramel, band yang kini pun hilang ditelan bumi, melalui jalur hukum serta bantuan para pakar telematika dan pakar terawang gaib yang anehnya mau aja ikut campur ngurusin hal-hal corny kayak gini.

Lalu munculah sosok penulis Agnes Davonar, yang mengaku dari dialah kisah asal cerita Gaby itu bermula. Entah benar atau tidak, nyatanya novel online tersebut banyak memicu keingin tahuan khayalak. Sebelum akhirnya dicetak dalam bentuk buku, lumayan best seller serta menarik minat Lucky Lukman Hakim untuk mengadaptasinya dalam bentuk visual.

So, film Gaby dan Lagunya, adalah kesimpulan akhir dari fakta-fakta yang berkembang. Seolah menasbihkan diri bahwa begini lho cerita lagu ini yang sebenarnya. Tapi setelah dilihat secara keseluruhan. Ternyata sama aja. Siapapun bisa membuat cerita seperti ini. Bahkan tema seperti ini kayaknya uda too basi to be true. Mungkin karena kebawa hype, cerita dangkal dan datar karangan Agnes Davonar akhirnya mampu terjun bebas merangkul sasarannya. Dimana dalam versi live action dibintangi oleh artis-artis pendatang baru layar lebar yang mukanya nggak asing kita lihat dilayar kaca seperti Karina Nadila, Guntur Triyoga, Randy Kjaernett serta anak kesayangan sang sutradara, Leylarey Lesesne.

Seperti yang barusan gue bilang, cerita film ini tipis banget. Karakterisasinya nggak jelas. Yang dijual cuma jalinan kisah cinta bullshit dan tampang-tampang para pemain serta eksplorasi high-low angle khas Nayato yang gue akui terlihat cantik disini. Entahlah. Gue rasa Gaby adalah film om Naya terbaik tahun lalu dari sederet sampah-sampah yang dia produksi. Ya meski seperti biasa: kurang penggalian karakter yang hampir selalu ada di film yang diarahkan, ekskusi akhir yang terlalu cepat sehingga drama yang ingin dijual nggak terasa, akting bintang-bintangnya yang lempeng abis serta beberapa kelebayan (lagi-lagi) khas sutradara yang selalu hobi bermain dengan angin, hujan dan set dekorasi yang menarik untuk diambil kesimpulan sendiri. Seperti munculnya poster film prancis berjudul Amelie contohnya.

At least Gaby dan Lagunya berakhir dengan satu kata: menghibur. Gue sangat menikmati film ini sampe melupakan beberapa fakta yang berusaha gue toleransi. Gambar-gambar cantik yang disajikan memberi nyawa tersendiri. Serta iringan lagu yang cukup enak didengar meski ada beberapa kali muncul scoring merusak telinga namun tidak sampe terlalu parah dan menyiksa. Rasanya 4.2 dari 10 menjadi rating terbaik yang gue berikan ke Om Naya untuk film-filmnya yang beredar tahun lalu. Meski sayang hasil film ini tak terlalu fenomenal karena kisah Gaby sendiri sudah kehilangan pamor.

Rating 4.2/10

Cowok Bikin Pusing [2011]


Awalnya hidup Cecille amatlah sempurna. Dia mempunyai pacar yang ganteng dan sukses bernama Marco (Marcel Chandrawinata), sahabat-sahabat terbaik seperti Justin (Amink) dan Tasha (Laudya Cynthia Bella) serta bisnis bakery “Cecille’s Bittersweet Chocolate” yang lumayan sukses. Tapi semua berubah sejak Marco berselingkuh hingga kata putus pun terucap. Untuk mengobati sakit hatinya, Cecille dibantu kedua temannya, berusaha membuat hidup Marco kacau.

Namun rupanya hal itu tak berarti begitu banyak. Puas memang melihat Marco berhasil dikerjai. Tapi setelahnya tetap ada sesuatu yang kosong dalam hati Cecille. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Dino (Nino Fernandez), pelanggan di toko bakery nya. Berangkat dari masa lalu dan usaha move on yang sama karena patah hati, dua orang ini akhirnya dekat. Namun Tasha merasa ada yang aneh dengan kedekatan antara Cecille dan Dino. Hingga dia berusaha melakukan apapun untuk memisahkan mereka. Termasuk mempertaruhkan persahabatannya.

Menonton film yang sempat ditunda jadwal rilis selama hampir tiga tahun ini ibaratnya seperti makan di restoran bernuansa cozy yang membuat seger mata. Suasananya yang nyaman dan enak dilihat membuat siapapun pengunjung bakal betah meski sebenarnya masakan yang disajikan biasa saja. Bahkan, sampe ada yang nggak enak. Seperti itulah kira-kira gambaran nyata dari film yang disutradarai oleh Winaldha E Melalatoa. Dimana dia melakukan debut penyutradaraan pada tahun 2004 lewat film Petualangan 100 Jam.

Film dengan judul murahan ini awalnya bertitel Selingkuh. Namun entah mengapa tiba-tiba diubah menjadi Cowok Bikin Pusing, meski kedua judul itu sebenarnya sama sekali tak mencerminkan inti film. Entahlah, apa alasan MVP Pictures yang tak memikirkan judul lain sewajar mungkin. Dan semenarik mungkin.

Naskah yang ditulis oleh Sekar Ayu Asmara memang tak sekompleks karya dia sebelumnya. Sebut saja Belahan Jiwa dan Pesan dari Surga. Meski tetap berciri seorang Sekar dibeberapa bagian, tapi hasilnya sangatlah ringan dan menghibur. Sayangnya begitu diekskusi dalam bentuk visual, entah kenapa cerita sederhana yang ditawarkan menjadi tidak enak dinikmati. Dan itulah maksud pengandaian gue tadi.

Suasana cozy restoran adalah gambaran dari sinematografi yang sempurna dari Rizal Mantovani dalam memotret sudut-sudut Bali dengan begitu Indah serta ensemble cast yang benar-benar vitamin mata bagi masing-masing jenis kelamin. Siapa yang nggak bakalan terpesona dengan wajah-wajah seperti Julie, Nino, Bella dan Marcel? (lupakan Amink)

Sedang soal masakan yang biasa-biasa saja bahkan tidak enak adalah gambaran dari parahnya eksekusi serta pemotongan scene di film ini. Banyak bagian dari film yang sepertinya loncat begitu saja. Perhatiin adegan awal ketika tiba-tiba Marco putus dengan Cecille. Atau adegan ketika tiba-tiba Justin bangun dari tidur dan mendapati dirinya tengah tidur bersama seorang pria. Cukup mengganggu sekali dan lumayan membuat malas untuk menikmati alur kisah selanjutnya. Sayangnya, seperti kata gue diatas, pemandangan di film ini membuat betah. Dan gue pun terpaksa menonton film ini sampai selesai dan merutuki setiap bagian yang konyol, garing atau chessy banget.

Sangat disayangkan, padahal jajaran cast sudah begitu mumpuni dan memiliki daya jual. Tapi eksekusi yang ditawarkan kelewat biasa saja hingga tidak mempunyai daya tarik. Beruntunglah MVP Pictures memiliki pikiran menunda perilisan film ini beberapa tahun. Karena memang sangat tepat dihadirkan sekarang ketika bioskop digempur horor sampah yang makin lama makin meresahkan. Meski hasilnya jauh dari sempurna.

Rating 4/10

Anakluh [2011]


“Kebencian hanya akan membuang energi yang baik...” - Idayu

Gimana jadinya kalo ibu dan anak sama-sama jatuh cinta pada satu laki-laki yang sama? Seperti itulah konsep sederhana yang ditawarkan oleh Anakluh. Sebuah film yang diangkat dari novel Anakluh Berwajah Bumi karya Ugi Agustono. Konsep yang cukup menarik memang. Itupun jika dieksekusi dengan baik. Namun sayang, sutradara sekelas Eduart Pesta Sirait yang memulai karir sejak 1976 dan menelurkan film-film sukses pada masanya seperti Chicha yang mendapat penghargaan festifal film di Cairo pada tahun 1977, Gadis Penakluk, Bila Saatnya Tiba, Blok M sampe karya terakhirnya, Joshua Oh Joshua, enggan meng-up to date cara mendirect hingga berkesan sangat old style sekali. Terlihat dari penggunaan footage yang itu-itu mulu tiap perpindahan adegan. Mungkin niatnya ingin menjelaskan latar tempat, tapi apa perlu hampir disetiap perpindahan scene? Oh come on.

Jadinya guepun bingung mau menyalahkan siapa, sang sutradara atau penulis naskah filmnya; Muzafarsyah dan Ugi Agustono yang juga bertindak sebagai salah satu produser, kenapa filmnya jadi seperti itu. Harusnya setelah tau ada campur tangan langsung dari penulis novel, Anakluh yang dalam bahasa Indonesia berarti perempuan, bisa lebih sedikit mempunyai gereget. Tapi entah kenapa 89 menit berlalu, film ini tampak terburu-buru dalam penjabaran ceritanya. Beberapa momen yang diharapkan bisa menarik simpati malah berakhir garing. Belum lagi nuansa Bali yang digembor-gemborkan bakal membuat film ini berbeda, meski terlihat indah dalam pengambilan angle-nya, malah hanya berkesan tempelan semata. Bagian terparah adalah kesetiaan film ini pada novelnya yang enggak menjelaskan pekerjaan karakternya.

Disebut film televisi nyasar ke bioskop? Bisa jadi, meski kualitasnya sedikit diatas. Tapi entah kenapa menurut gue film ini nggak perlu banget masuk ke bioskop. Toh ketika rilis di bioskop pun hanya tayang dibeberapa tempat lalu hilang begitu saja tanpa bekas. Kenapa bisa begitu?

Mungkin nih, alasan pertama dari novelnya yang masih begitu asing dan belum seterkenal buku lain yang diadaptasi ke layar lebar lebih dulu. Kedua, market yang dituju jelas untuk wanita. Remajapun paling cuma segelintir. Apalagi dengan tema chicklit banget, mana ada labilers cowok yang mau nonton? Ketiga, kurang promo dan poster yang nggak mempunyai daya tarik. Keempat, para pemain yang kurang menjual. Selain Rizki Hanggono, gue belum begitu familiar dengan Shara Aryo yang menjadi tokoh sentral sebagai single mother dan Suci Winata yang berperan sebagai Kirei. Kalo Masayu Clara sih sering liat dia di sinetron. Makanya nggak kaget kalo akting para pemain masih rada kaku dan rada lebay a la sinetron kita. Yang paling parah malah ada yang berakting kayak hafalan rumus matematika didepan kelas. Haha… bagian castingnya parah banget. Minimal, biarpun figuran atau pemain pendukung, cari talent yang rada bener dikit kek. Kan rugi udah buang duit buat bayar mereka kalo hasil aktingnya kayak robot korslet. Sedang kemungkinan terakhir paling balik ke soal minimnya bujet produksi dan kopi rol film.

Rasanya bagian menyenangkan dari film ini adalah masuknya lagu-lagu dari Seventeen yang cukup familiar dan enak didengar meski kadang agak janggal penempatannya. Selebihnya Anakluh hanyalah drama picisan dengan konklusi akhir yang mendarah daging serta dipenuhi adegan serta akting khas sinema elektronik. Menghibur memang, namun akan begitu sangat mudah dilupakan.

Rating 4/10

Surat Kecil Untuk Tuhan [2011]


“Aku hanya ingin tahu bagaimana nanti caraku dikenang. Tergantung kalian...” - Keke

Jujur aja, dari awal gue emang nggak niat menonton debut dari sutradara Harris Nizam ini di bioskop. Pengennya gue sih, nonton nanti aja kalo udah muncul VCD atau DVD-nya. Tapi gatau kenapa, gue kemaren tiba-tiba pengen ngabuburit di bioskop. Dan karena Harry Potter sudah ditonton, sedang gue males mati ketiduran dengan memilih Transformers 3—seperti nasib temen-temen movie blogger yang udah lihat duluan, gue terpaksa memilih film yang beberapa hari lalu sempet jadi ‘drama’ ketika produk milik MPAA bisa kembali kita nikmati di bioskop.

Film Surat Kecil Untuk Tuhan (SKUT) diangkat dari novel online populer karya Agnes Davonar yang dia tulis berdasar kisah nyata seorang gadis remaja bernama Gita Sesa Wanda Cantika. Dimana gadis yang lebih akrab dipanggil dengan nama Keke ini mengidap penyakit kanker jaringan lunak atau menurut istilah kedokteran disebut Rhabdomyosarcoma, serta di klaim sebagai penyakit pertama yang terjadi di Indonesia.

Wait, sepertinya kalo ada film terus nyebut-nyebut nama penyakit sejenis kanker, pasti bawaannya sad ending. Dan emang iya sih, SKUT juga berakhir senada seperti yang diharapkan. Bukan bermaksud untuk spoiler, toh film jenis ini pasti memiliki hak paten kearah sana. Tergantung bagaimana cara penyajiannya. Sukses membuat penonton galau kah, keluar bioskop dengan segudang wejengan yang mungkin akan dijadikan pedoman hidup atau mudah dilupakan begitu saja. Lalu dimana kita harus menaruh SKUT diantara tiga kemungkinan yang barusan gue sebut?

Sayangnya SKUT cukup maruk. Karena film ini berhasil masuk dalam tiga kemungkinan itu. Bikin galau? Yah, lumayan. Meski hanya sebatas tersentuh. Belum sampe mewek ngabisin tisu dua rol, atau kalo perlu empat rol sekaligus. Keluar bioskop dengan segudang wejengan? Hell, yeah. Film ini melakukan hal itu. Cuma agak too much kata gue. Bikin gue jadi bingung. Mana ya pesan yang perlu gue terapin dalam hidup gue yang kelam ini (eh, kenapa curhat? Tolong abaikan!). Terakhir, apakah mudah dilupakan? Dan dengan senyum kecut gue menjawab: ya!

Gue belum membaca versi novelnya. Dan tak berniat membandingkan untuk kemudian dibuat sakit hati oleh hasil adaptasinya. Jadi biarkan gue menikmati SKUT cukup dari medium film saja.

Sebenarnya dari segi tema dan naskah olahan Beby Hasibuan, nggak masalah. Meski sempet ada yang bilang mirip film A, B dan C, toh hampir tiap negara memiliki setidaknya satu-dua film berjenis ini. Tapi SKUT nyatanya terlalu melelahkan untuk dinikmati seperti drama Indoensia lain. Harusnya durasi 105 menit bisa tereksekusi dengan baik. Sayangnya plot utama tentang transformasi Keke dari hidup normal hingga berbalik 180 derajat mesti terseok-seok dibeberapa part karena penambahan plot-plot nggak perlu plus adegan aneh yang seharusnya bisa diganti dengan cerita yang memungkinkan SKUT untuk tampil lebih memiliki semangat. Bukan dari awal sampe akhir kita mesti disuruh bergalau-galau ria nggak jelas. Lumrahnya sih tearjerker yang baik harus lebih bisa memasukan unsur drama secara alami, bukan memaksakan seperti yang dilakukan film ini. Bukankah begitu?

Beruntung meski memiliki kekurangan minor yang membuat SKUT terjerembab, film ini masih bisa dinikmati berkat make up yang ciamik ketika penyakit Keke menyerang, serta totalitas Dinda Hauw sampe rela mengunduli rambut panjangnya. Gue sih yakin aja, ni cewek memiliki masa depan yang cerah kalo aja bisa lebih giat mempertahankan kebintangan dia berkat film yang sampe postingan ini gue publish udah ditonton sebanyak 706.117 penonton. Lumayan berhasil jadi box office ukuran Indonesia lah, meski masih belum mampu mengungguli Arwah Goyang Lonte (ups!).

Begitu pula dengan aktor sekelas Alex Komang. Meski lumayan, tapi gue nggak ngerasa ini akting yang susah bagi dia. Toh dalam film-film sebelumnya aktingnya juga kayak gini. Jadi gue nggak ngerasa yang gimana-gimana ketika ngelihat aksi dia dilayar. Sedang akting pemain lain seperti Egi John, Dwi Andika sampe temen-temen Keke sangat tidak bisa diharapkan. Mungkin karena porsi kemunculan mereka yang timbul tenggelam. Apalagi begitu timbul, kehadiran mereka malah diharuskan untuk menjadi drama yang juntrungannya malah bekesan lebay dan absolutely failed!

In the end, SKUT adalah film yang gagal menginspirasi penonton akibat penyampaiannya terlalu berlebihan, ritme yang membosankan serta dukungan akting yang kurang menjiwai. Mungkin akan kelihatan lebih menarik minat, emosi dan simpati ketika bisa tampil lebih sederhana dan apa adanya.

Sekedar info aja, entah kenapa film produksi Skylar Pictures harus mendramatisir keadaan ketika filmnya akan habis masa edar. Lihat saja kasus review berhadiah 100 juta untuk film Tebus yang sampe saat ini nggak ada baunya siapa yang menang, sampe pihak SKUT yang merasa terzalimi karena filmnya mesti banyak turun layar ketika Voldemort dan Bumblebee menginvasi bioskop. Why?

Rating 4.5/10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...