Karnaval Poster Film Jiplakan



kayaknya bukan negara Indonesia kalo nggak ngejiplak. mulai dari lagu di album pertama D'Masiv, sinetron  Buku Harian Nayla, girlband-boyband abal-abal itu, eh, sekarang poster film. astagfirullah, gak kreatif banget sih kalian?!?! *ngemut kursi*

so, dengan niat mulia gue kasih daftar POSTER JIPLAKAN film Indonesia yang gue rangkum dari beberapa sumber plus ada beberapa temuan jiplakan baru yang nggak ada di site blog lain. Dan... tertawalah sampe mati!


1. BELUM CUKUP UMUR vs THE TIME TRAVELER'S WIFE


2. PRIDE & PREJUDICE vs SELAMANYA


3.THE PRESTIGE vs ROH



4. DITTO vs HANYA UNTUKMU



5. THE HEIRLOOM vs TALI POCONG PERAWAN


6. THE WIG vs SETAN BUDEG



7. FREEDY VS JASON vs POCONG VS KUNTILANAK


8. CLOSER vs RASA


9. LOST SEASON 2 vs PULAU HANTU 2


10. LOVE ACTUALLY vs LOVE


11. THE SKELETON KEY vs KALA



12. HOT CHICK vs NAMAKU DICK


13. CITY OF ANGELS vs CINTA TIA MARIA



14. EMPLOYEE OF THE MONTH vs BESTFRIEND?


15. SWADES vs BANYU BIRU


16. FANAA vs AYAT-AYAT CINTA



17. TRUE BLOOD vs PAKU KUNTILANAK


18. KILLING ME SOFTLY vs PINTU TERLARANG



19. SCREAM vs TAKUT


20. SHROOMS vs MATI SURI


21. COUPLES RETREAT vs AIR TERJUN PENGANTIN


22. MARRYING THE MAFIA vs GET MARRIED 2



23. THE SLEEPING DICTIONARY vs LOVE IS CINTA


24. HORORFEST 2007 vs HANTU PUNCAK DATANG BULAN



25. [REC] vs TE[REKAM]



26. WHERE THE TRUTH LIES vs RAYUAN ARWAH PENASARAN



27. DRIVE ANGRY vs DEDEMIT GUNUNG KIDUL


28. LOVE & OTHER DRUGS vs PELUKAN HANTU JANDA GERONDONG


29. AZUL OSCURO CASI NEGRO vs PUTIH ABU-ABU DAN SEPATU KETS


30. JOHN TUCKER MUST DIE vs ARISAN BRONDONG


31. A WALK TO REMEMBER vs LOVE STORY


32. KITES vs HEART 2 HEART


33. SKANDAL vs ZEBRA LOUNGE


34. SUSTER KERAMAS 2 vs BLOODY REUNION


35. PUPUS vs SAD MOVIE


36.POCONG MANDI GOYANG PINGGUL vs MUOI

Masih Bukan Cinta Biasa [2011]


“Voni Vino, nggak mau susah banget sih mamamu kasih nama?!” – Tommy

Kisah berlangsung satu tahun pasca kejadian dalam predesornya. Kini Tommy (Ferdy Taher) berubah menjadi rocker insyaf. Dia bukan lagi vokalis The Boxis karena Lintang (Wulan Guritno), sang istri, melarang Tommy nge-band lagi. Alhasil, kerjaan Tommy tiap hari hanya menjadi penjaga rumah selagi istri dan anak gadisnya yang bernama Niki (Olivia Jensen) sibuk dengan urusan masing-masing di kantor dan sekolah.

Pada suatu hari ketenangan dalam rumah tangga Tommy berubah 180 derajat ketika datang sosok pemuda dengan style berandal bernama Vino (Axel Andaviar) yang mengaku sebagai anak dari Tommy. Benarkah dia anak Tommy? Kalau memang benar, apa yang akan terjadi selanjutnya? Sanggupkah Lintang dan Niki menerima Vino jika memang dia anak kandung dari sosok rocker tobat tersebut?

Masih Bukan Cinta Biasa memang masih menawarkan hal yang tak jauh beda dari prekuelnya. Masih memiliki kisah yang serupa. Serta masih dibintangi oleh pemain yang sama pula. Bahkan, sampai ke jajaran bintang tamunya! Lalu, jika memang seperti ini, apa yang sebenarnya ingin ditawarkan dari film yang naskahnya ditulis dan disutradarai oleh sineas bernama Benni Setiawan ini? Lupakan premis yang sebelas-dua belas dengan Bukan Cinta Biasa. Toh, film produksi ketiga Wanna B Pictures ini tetap layak menjadi hiburan.

Meski 60% durasi diisi dengan adegan serupa tapi tak sama, Masih Bukan Cinta Biasa tetap memiliki beberapa poin yang seru untuk dilihat. Pertama poin drama yang lumayan menyentuh. Iya, mata gue berkaca-kaca melihat suasana sentimentil yang berhasil diciptakan oleh Benni Setiawan dengan baik. Apalagi tone film yang dibuat sedemikian soft. Kedua, poin komedinya yang lumayan bikin tertawa meski nggak sampe ngakak kayang ke Afrika.

Malangnya, meski sudah agak gue puji-puji, film ini masih juga memiliki cacat yang lumayan ganggu bagi gue. Pertama soal perkembangan antar karakter yang stuck di jalan. Bahkan demi ambisi membuat kisah semakin menarik dan beda, Benni menenggelamkan karakter sentral Niki yang jadi penguasa pada film pertama. Diganti dengan sosok annoying dari Vino dengan progres karakter flat yang terkadang nggak menarik untuk diikuti. Kedua soal baju seragam Niki. Hell, terserah kalian mau bilang gue kurang kerjaan atau apa. Tapi hal ini sedikit banyak mengganggu mata gue. Bukankah pada Bukan Cinta Biasa seragam sekolahnya berwarna merah marun? Lalu kenapa sekarang jadi putih abu-abu? Pindah sekolah? Kenapa nggak pake kostum lama aja sih demi menyempurnakan kontinuitas? Dan kenapa nggak dijelaskan kalo memang pindah? Ketiga, unsur tearjerker yang ditawarkan terbilang over the top. Nggak perlu kaleee dilama-lamain. yang ada jadi aneh juga bawaannya! Keempat, posternya yang SHIIIT, itu siapa yang bikin? Ngeditnya ngasal banget. Gue yakin banget itu bukan kesengajaan! Coba perhatikan lengan Ferdy Taher yang terjepit sosok Olivia dan Axel. Dan silahkan benturkan kepala anda ke tembok!

Anyway, dibalik kekurangan tersebut, gue masih menikmati film ini kok ketimbang predesornya. Gue enjoy lihatnya, duduk santai dikursi sambil beberapa kali mengernyitkan dahi sedikit dan sesekali menahan tangis. Lebih untung lagi gue nggak mengeluarkan handphone dari tas untuk live tweet di twitter seperti biasa. Bukan, bukan karena gue begitu terbius akan kisahnya. Tapi sinyal SOS di dalam studio 4 membuat hidup kedua gue itu nggak berguna sesaat -___-

Rating 5.9/10

Tarung: City of Darkness [2011]


ADVISORY WARNING: REVIEW INI TIDAK BEGITU PENTING. PELIS, JANGAN DIBACA! 

Info mengenai film dari sutradara kebanggaan kita satu ini sudah tercium lama sekali dengan judul awal Fight: City Of Darkness. Sebelum memakai nama asli dia-yang-tak-boleh-disebut, sutradara 'serba bisa' dengan seribu nama ini mencantumkan alter ego Lee Ngan Cheong yang entah dicomotnya darimana (asumsi gue sih setelah puasa boker 2 hari 2 malam di gunung Hua kuo) pada poster teasernya dibawah produksi Videocam Film. Tapi menjelang peluncuran resmi, apalagi dengan dilepasnya trailer yang sangat bergaya dia-yang-tak-boleh-disebut, film ini akhirnya berganti judul menjadi Tarung: City of Darkness dibawah rumah produksi yang namanya ikutan berganti pula menjadi Jelita Alip Film.Wah, dunia yang aneh -____-

Dibilang terobosan untuk genre sebenarnya tidak juga. Dia-yang-tak-boleh-disebut pernah bermain-main dengan ranah action dan kriminal pada film drama galau yang muncul dan menyampah lebih dulu di jaringan 21 meski porsinya hanya sekedar tempelan. Makanya, begitu melihat trailer Tarung yang tersebar lebih dahulu di youtube, gue sudah antipati. Sangat bercita rasa dia-yang-tak-boleh-disebut sekali. Plus kebiasaan trailer dari film hasil kreasinya yang suka membunuh isi filmnya sendiri. Yup, gimana nggak membunuh kalau dengan melihat trailernya saja kita sudah tau bagaimana nasib film ini.

Sudah, lupakan soal cerita karena sama sekali nggak worth it. Dimana nantinya hanya akan membuat kalian mengerutkan jidat dan nggak bisa kembali rata sampai pulang ke rumah, bahkan kalau mau, hingga berhari-hari kemudian. Seperti biasa lah, naskah yang ditawarkan sangat lemah bin maksa. Meski jujur saja at the first time memiliki premis yang cukup menarik kalau saja jatuh ditangan sutradara dan penulis skenario yang tepat. Bukannya jatuh di sineas yang lagi-lagi bermental sakit jiwa seperti ini. Lalu, apakah Tarung layak untuk disimak?

TIDAK! ABSOLUTETY NO! Kecuali kalian ini membuang waktu dan uang lalu mereview seperti gue. Yah, setidaknya gue masih mempunyai niat lain, disamping hobi rare ini, yaitu menyadarkan kalian dari sialnya menonton sampah model beginian. Memang apa sih yang membuat film ini sebegitu buruknya dimata gue meski dia-yang-tak-boleh-disebut sudah mencoba alternatif berebeda? Apa? Apa?

1. Akting kancrut dari semua pemain! Gimana nggak kancrut, kalo hampir semua aktor cowok yang pernah bermain di film-film dia-yang-tak-boleh-disebut minus Zaky Zimah, Andhika Pratama, Fero Walandouw dan Dallas Pratama pada reuni menunjukkan akting ternajis, terlebay dan kawan-kawan. Momen terburuk adalah ketika mendapati Volland Humangio berada ditengah-tengah mereka. Hampir dikatakan Volland tidak sedang berakting. Lalu ngapain? Bokerkah? Bukan, tentu aja untuk jadi bahan sempalan supaya cerita jadi panjang. Toh tanpa kemunculannya, sebenarnya film ini masih tetap bisa berjalan.

2. Akting kancrut Cinta Dewi yang awalnya ditujukan sebagai pemanis namun tidak manis sama sekali Sayang, aktingnya gitu-gitu melulu dan dia tak mau berusaha melakukan improvisasi selain improv untuk lebih berani pamer badan yang memang,  hell, lumayan seksi. Cinta Laura eh Cinta Dewi kelihatan beneran lagi akting ketika sedang menari diatas meja pada opening film. Selebihnya, forget it. Apalagi begitu mengetahui bulu keteknya belum dicukur dengan begitu sempurna. Oh shit, mau nyaingin Eva Arnaz? Langakahi mayat KKD dulu (?).

3. Kebodohan karakterisasi yang dibuat tanpa latar belakang dan seperti biasa, hanya untuk mempermudah dia-yang-tak-boleh-disebut mengeksplorasi jalan cerita hingga menjadi makin tidak-tidak

4. Kebodohan jalan cerita. Coba cek logika ketika tokoh Galang yang diperankan oleh ubur-ubur menolong adik tololnya dengan janji akan melunasi hutang dalam 3 hari. Tapi selama 3 hari kok dia cuma jalan-jalan, lontang lantung nggak jelas? Tolong KKD, buruan cium gue daripada terus lo siksa gue kayak gini *eh, salah cantumin nama woy!*

5. Editing yang berantakan dari Tiara Puspa Rani. Apalagi pace film yang lumayan cepat seperti ini membuat TPR sepertinya sangat kewalahan. Makanya jangan mau kerja sama KKD *salah sebut lagi woy!*

6. Banyak kebiasaan buruk sang sutradara yang akhirnya malah menjadi trade mark. Mari kita cek.

A. Hujan? Ada!
B. Clubbing? Jelas!
C. Cewek buka-bukaan? Tentu!
D. Gas elpiji 3kg? Hell of course!
E.  Gelap-gelapan? Yes iyeslah, judulnya aja uda mengandung kata Darkness!
F.  Adegan tengok kanan kiri sebelum berjalan? Tetep!
G. Darah? Gak usah ditanya!
F. Kereta api? WOW, GUE SYOK KENAPA BANYAK SEKALI FOOTAGE KERETA API NONGOL TANPA TUJUAN YANG JELAS DI FILM INI! APAA MAKSUDNYA?!?!

Kurang apalagi ya? Sepertinya kurang efek angin-anginan layaknya film india doang deh. Tumben dia-yang-tak-boleh-disebut-namanya lupa masukin.

7. ....

Kayaknya udahan deh yah, gue kan nggak lagi mau bikin skripsi!

Baiklah, masih yakin untuk menonton? Keputusan ada ditangah kalian. Akhir kata, tontonlah film Indoensia bermutu. Sekian dan sampai jumpa di review film dia-yang-tak-boleh-disebut  bergenre selain horor selanjutnya.

FAKTA TIDAK PENTING: Itu tolong ya, komentar-komentar di poster bisa dibuktiin nggak? Terutama yang terakhir. Mungkin maksudnya "KICKASS NAYATO" kalee, bukan "KICKASS ACTION!"

Rating ?

Bukan Cinta Biasa [2009]


"Ini lagi om-om, udah tua, malah ngajakin yang nggak bener!" - Niki

Berseting di kota kembang Bandung, dimana kehidupan Tommy (Ferdy Taher), seorang vokalis band rock The Bokis, berbalik 180 derajat sejak kedatangan seorang gadis bernama Nikita (Olivia Jensen) yang mengaku sebagai anaknya. Awalnya memang tidak bisa dipercaya begitu saja. Bagaimana Tommy, yang menikah saja belum, sudah mempunyai anak berumur 16 tahun? Tapi semua terjawab setelah Niki mempertemukannya dengan Lintang (Wulan Guritno), ibunya, sekaligus mantan kekasih Tommy yang dulu dihamili.

Masalah merumit ketika Niki malah memilih tinggal bersama Tommy untuk melanjutkan sisa satu semester sekolahnya sebelum ikut pindah bersama Ayah baru dan Ibunya ke Amerika. Itupun melalui berbagai aturan dari Lintang guna menjamin kehidupan Niki selama jauh darinya. Dengan kata lain, merampas kebiasaan buruk Tommy seperti mabuk-mabukan bersama personil The Bokis, bercinta dengan pacar binalnya yang bernama Angel (Julia Perez) serta segudang kebiasaan buruk lainnya. Lalu, bagaimanakah kelanjutan kisah Ayah dan anak ini?

Bukan Cinta Biasa, merupakan debut dari sutradara muda berbakat, Benni Setiawan. Bercerita tentang kisah cinta yang sangat jarang sekali disentuh oleh sineas kita. Yup, kisah cinta antara ayah dan Anak. Bukan kisah cinta menye-menye dua sejoli yang konfliknya itu melulu. Well, dari segi ide bisa gue bilang film ini menawarkan sesuatu yang fresh. Pun begitu dengan pemilihan ensemble cast utama yang menggunakan wajah baru. Meski nama Ferdi Taher sendiri sudah dikenal lebih dulu sebagai vokalis Element. Nah, sekarang tinggal pertanyaan terakhir aja, apakah film ini layak tonton?

Dibilang fresh bukan berarti jauh dari keklisean identik. Nyatanya, naskah olahan Benni Setiawan tetap memamparkan jalinan kisah menye yang itu-itu saja meski tidak begitu dominan. Karena jelas film ini lebih berkonsentrasi pada kisah Tommy-Niki. Sehingga bagian lain hanya sekedar tempelan belaka. Namun masih bisa dituangkan dengan lebih wajar. Salut untuk hal itu.

Unfortunately, Bukan Cinta Biasa masih memiliki kekurangan disana sini yang lumayan mengganggu.

Pertama, soal konflik yang ternyata tidak senatural itu. Seperti apa urusan yang membuat karakter Lintang penting banget mesti ke Amerika bersama suaminya?

Kedua, soal ketidak singkronan dialog. Yang paling kentara banget adalah scene di parkiran ketika Nikita menunggui Tommy yang mabuk. Kenapa tiba-tiba bahasanya kaku dan nyastra sekaleee?

Ketiga, soal komedi yang kurang segar. Bukannya ketawa, gue malah ngernyitin jidat dan ngebatin “apaan seeeh?”

Keempat, hilangnya karater yang dimainkan Joe P-Project 30 menit menjelang film berakhir. Kemanakah dia? Apakah di culik Nayato?

Kelima, eksekusi akhir yang lumayan chessy serta terlihat menggampangkan dan tidak diceritakan kenapa-kenapanya? Seperti kenapa Lintang dan suami barunya mendadak cerai?

Terakhir gejala-gejala preachy yang makin menjadi-jadi dan lebay menjelang ending.

Intinya, Benini Setiawan terlihat agak kesusahan mengakhiri rangkaian kisah yang dia buat. Sehingga kestabilan cerita diawal mendadak rusak dan berantakan di akhir. Untungnya para pemain mampu menutupi semua dengan sangat enjoyable. Terutama akting Olivia Jensen yang waktu itu masih nobody. Sehingga Bukan Cinta Biasa terlihat tetap worth it untuk disaksikan.

Rating 5.5/10

Tak Ingin Sendiri [1985]


“Tapi saya yakin, Mbak Tika tidak mampu melihat kekurangannya sebab Mbak Tika mencintainya. Tahu nggak, Shakespeare pernah bilang begini: ‘cinta itu buta’. Ya kan Pa?”  - Mandy

“Rasanya masih banyak kata-kata Shakespeare yang lebih berarti yang seharusnya kau ingat,” - Papa

Beberapa minggu lalu nggak sengaja gue ngedenger sebuah tembang lawas di dalam bis kota yang gue tumpangi. Gatau kenapa lagu itu kena banget ke guenya. Iseng, gue langsung search di mbah google dengan memasukan sedikit lirik yang terus terngiang di kepala. And voila... gue malah menemukan film berjudul Tak Ingin Sendiri. Dimana lagu yang gue dengerin dalam bis waktu itu nggak lain dan nggak bukan merupakan original soundtracknya. Yup, lagu berjudul Tak Ingin Sendiri ciptaan Pance Pondakh yang begitu populer di era 80’an. Era ketika mama-papa kita masih kinclong.

Film yang ditukangi oleh Ida Farida ini bercerita tentang kisah cinta dua insan bernama Pras (Rano Karno) dan Tika (Meriam Belina) yang sudah lama berpacaran. Pras dan Tika memiliki perbedaan karakter yang begitu mencolok. Namun rupanya mereka bisa bertahan dengan kekurang-lebihan masing-masing. Hubungan keduanya pun telah mendapat persetujuan dari orang tua kedua belah pihak. Rencananya, nanti setelah lulus dengan gelar dokter, Pras akan melamar Tika yang sudah bertahun-tahun menunggu. Namun sayang, sebuah penyakit ganas malah meluluh lantakkan harapan mereka berdua. Sanggupkah sesuatu bernama penyakit kanker itu mempertahankan kesucian cinta mereka, atau malah sebaliknya?

Dari segi cerita kalau dilihat dari kacamata anak muda jaman sekarang tentu aja sudah sangat basi. Yah, khas-khas drama indonesia kekinian lah. Yang selalu berakhir klise dengan eksekusi seadanya. Namun rupanya, kalau dilihat dari kacamata penonton waktu itu, tentunya ada sesuatu yang lebih. Dan gue menikmati kelebihan itu.

Tak Ingin Sendiri dibangun dengan pondasi cerita yang kuat. Jika nantinya akan berakhir dengan sangat corny layaknya film drama modern, itu sah-sah saja. Karena memang sejak awal sudah di set sedemikian rupa untuk menjadi melodrama yang mengharu-biru. Bukan mendadak sakit untuk kemudian digantikan dengan muculnya sosok cinta baru. Amen for that. Karena dalam film yang naskahnya ditulis oleh sutradaranya sendiri ini, tidak ikutan mengambil pakem seperti itu.

Salut untuk akting Rano karno dan Meriam Belina yang begitu awesome. Begitu ngeblend dengan karakter yang diemban. Hingga guepun jadi ikutaan bergalau ria saking suksesnya mereka membawakan peran masing-masing. Nggak lupa dukungan dari aktor-aktris senior seperti Nanny Wijaya dan Dicky Zulkarnaen yang berperan sebagai orang tua Tika serta Ade Irawan dan H.Darus Salam yang berperan sebagai orang tua Pras dengan akting yang begitu lepas.

Nggak ketinggalan gesekan biola dari Idris Sardi (Ayah Lukman Sardi) disepanjang film yang membuat suasana semakin menyayat hati. Alah… lebay banget gue. Hehehe…

Sayangnya hal diatas masih terganggu oleh empat hal. Pertama soal pemotongan adegan yang kayaknya masih kurang rapi. Jadi terkesan loncat-loncat gitu. Kedua cerita yang melemah dipertengahan. Ketiga dialog bernas diawal yang menjadi picisan ditengah hingga akhir film. Keempat eksekusi akhir yang agak kurang ngena, membuat gue langsung drop, nggak jadi nangis pilu sambil bawa satu gulung tisu. Anyway, bukan masalah besar sih sebenernya. Karena film ini masih enak untuk diikuti kok. Apalagi soundtracknya itu… Ah, memorable sekali.

To be honest, ini pengalaman sinematik pertama menikmati film Indonesia jadul sebelum mati suri selain film-film warkop. Dan wow, gue makin nagih untuk mencari film-film Indonesia jaman dulu dengan kualitas seperti ini. Atau malah melebihi ini.

Rating 6.5/10

Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap [2011]


"Udah deh kamu gak perlu khotbah, aku uda sering denger di tivi!" - Farah

Bukan. Ini bukan sekuel dari komedi romantis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu. Bukan pula remake dengan perubahan judul lebih kekinian. Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap merupakan alternatif titel plesetan dari film arahan Indrayanto Kurniawan. Which is diharapkan mampu mengekor kesuksesan film asli yang rilis tahun 1986 dan dibintangi oleh Lydia Kandou bersama Deddy Mizwar tersebut. Ceritanya sendiri ditulis oleh Benni Setiawan, pemenang naskah adaptasi dan sutradara terbaik lewat film 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta dalam ajang Festival Film Indonesia 2010 lalu.

Kisah dibuka oleh kegalauan Asep (Andhika Pratama) ditengah arak-arak menuju rumah Enok (Pretty Asmara), gadis desa pilihan sang ibu (Lydia Kandou) yang dijodohkan dengannya. Beruntung sebuah peristiwa membuat acara lamaran itu batal. Ya, peristiwa yang akhirnya membuat Asep mengalami sindromlove at the first sight pada cewek kota sekaligus artis bernama Farah Dillon (Donita) yang sedang melakukan pemotretan di desa tempat Asep tumbuh besar.

Saking jatuhnya cintanya, Asep sampai menyusul Farah ke Jakarta dengan membawa sebuah misi yang tak mungkin. Misi apalagi kalau bukan menyatakan suka pada sang pujaan hati dan berharap cintanya berbalas. Namun Asep tak tahu, dibalik sikap baik atas nama balas budi yang ditunjukkan Farah padanya, cewek itu menyimpan berbagai masalah produk kota besar. Terutama jalinan cinta dengan sang mantan, Brandon (Betrand Antolin) yang begitu rumit. Menyerah begitu sajakah Asep setelah mengetahui semua? Mampukah Farah bertekuk lutut pada cowok kampung yang noraknya unlimited?

Itulah kisah almost basi yang ditawarkan film terbaru garapan BIC Prodution dan Mitra Pictures ini setelah sekian kali merilis horor-komedi sampah nggak bertanggung jawab yang mirisnya mampu meraih tiga ratus ribu penonton lebih. Hasil yang cukup bisa dibanggakan karena telah membalikan modal produksi.

Film ini gue tonton tanpa ekspetasi. Benar-benar menurunkan derajat serendahnya setelah membaca komentar teman-teman sesama reviewer yang kebanyakan mencela, menghujat dan kawan-kawan dalam berbagai variasi. Berangkat dari minat membantai habis seperti biasanya, guepun turut berpartisipasi. Untuk membuktikan seberapa nyampahnya film kedua sang sutradara selepas menukangi Saus Kacang beberapa tahun lalu.

Dan gue cukup kecewa. Iya, kecewa karena filmnya tak seburuk itu. Tak sejelek yang dibicarakan teman gue. Please, jangan salahkan gue yang ngefans sama Donita. Meskipun paha mulus Donita cukup menambah nilai lebih, nyatanya bukan karena itu gue menikmati film ini. Ya, film ini menghibur kok. Seenggaknya bagi gue. Alurnya jelas dan runut. Dialog sundanya cukup bisa dipake untuk belajar kilat. Dan yang pasti banyak sesuatu yang bisa kita petik. Terlepas dari penyajiannya yang bisa dikatakan kelewat ‘ceramah’.

Meski begitu Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap masih nggak bisa lepas dari beberapa faktor minus yang mungkin merusak filmnya sendiri. Look, gue rasa porsi komedi yang maksa itu nggak perlu terlalu lebay ditampilin. Karena selain nggak bisa bikin gue (dan seisi bioskop) tertawa ngakak sampe kayang diatas monas, nggak perlulah dimasukan unsur yang diharapkan mampu membuat tertawa tapi juntrungannya malah sebaliknya. Kalo aja lebih konsen ke drama (dimana gue menikmati sisi ini), gue yakin filmnya bisa lebih sedikit enak dinikmati. Dalam hal ini, mungkin penulis skenario dan sutradaranya harus banyak tahu bagaimana cara menampilkan komedi yang baik dan benar.

Lalu soal logika-logika yang nggak mau gue jelasin (saking anehnya) serta beberapa plot yang nggak tereksekusi dengan baik. Seperti latar belakang Farah dan kesalahan apa yang membuat hubungan Brandon-Farah bisa serumit itu. Karena percayalah, nggak akan dijelaskan atau diberi sedikit klu sampai film berakhir.

Di nilai dari segi akting nggak ada masalah. Andhika terlihat begitu menjiwai sampe urat mukanya muncul kayak gitu. Lalu Donita, yang bagaimanapun kekurangan dia, gue nggak bakal pernah bisa menyalahkannya. Maklum mantan gue *tolong tampar sebelum gue membahas soal Donita semakin alay jaya*

At least, Kejarlah Jodoh Kau Kutangkap bisa dijadikan alternatif tontonan. Meski masih jauh dari kata sempurna namun kehadirannya layak kita apresiasi. Lupakan soal komedi yang menentang logika, nikmati saja sisi dramanya yang begitu ringan dan menghibur.

Rating 5/10

Get Married 3 [2011]


"Edward... Jacob... Bella.." - Mama Rendy

Kisah berpusat setelah kelahiran 3 bayi kembar tidak identik dari pasangan Mae (Nirina Zubir) dan Rendy (Fedi Nuril). Dimana mereka memutuskan untuk mengurus bayi-bayi itu sendiri tanpa campur tangan siapapun, termasuk orang tua masing-masing dan tentunya tiga sahabat karib Mae: Guntoro (Desta), Eman (Amink) dan Beni (Ringgo). Tapi baru saja beberapa bulan berlangsung, Mae mendadak terserang sindrom baby blues atau penyakit stres bawaan ibu setelah melahirkan.

Spontan, keadaan rumah jadi kacau. Hingga pertengkaran antara Mae dan Rendy pun tak bisa dihindari. Merasa gengsi untuk meminta kembali kehadiran mertua dan ibunya, Rendy malah meminta bantuan pada ketiga sahabat karib Mae. Yang akhirnya malah membuat Babe dan Emak Mae (Jaja Mihardja – Meriam Bellina) serta Ibu dan Sophie, Adik Rendy (Ira Wibowo – Kimberly Ryder), hadir di rumahnya.

Merasa makin lama makin dijajah oleh kehadiran orang-orang itu yang tak memperbolehkan Rendy mengurus anak-anaknya sendiri , dia menyuruh Bobby (Billy W. Polli) untuk mendatangkan Nyai (Rata Riantiarno), mertua dari Babe alias nenek si Mae, dengan harapan bisa mengusir kehadiran pasukan ‘baby sitter dadakan'  itu dari rumahnya. Namun bukannya membaik, keadaan malah menjadi kacau balau. Dan kini, sekali lagi hubungan Rendy dengan Mae terpaksa tidak baik-baik saja. Bagaimanakah kelanjutan kisah mereka?

Seri Get Married pernah dibuka dengan begitu menyenangkan oleh Hanung Bramantyo empat tahun silam. Dan menurun pada sekuel pertama walau raihan penonton tetap memuaskan meski tidak sebanyak predesornya. Lalu bagaimana dengan nasib sekuel kedua ini?

Tak perlu berpanjang-panjang, jika pada Get Married 2 gue menyebutkan film produksi Starvision tersebut telah kehilangan beberapa esensi yang terdapat dalam prekuelnya. Di seri ketiga, dengan sangat kecewa gue mesti bilang bahwa film yang naskahnya di tulis oleh Cassadra Massardi ini telah kehilangan segalanya. Entah itu pondasi cerita, komedi, selipan satir, chemistry antar pemain maupun soundtrack. Nggak ada yang bisa dibanggakan dari kisah Mae-Rendy selain keterpaksaan dari berbagai segi. Okelah, 20 menit awal gue masih bisa nyaman duduk di kursi, tapi semakin lama, film jadi semakin membosankan dengan banyolan yang sama sekali tidak lucu dan keklisean standar film indonesia dalam menggampangkan penyelesaian konflik. Nggak salah kan, kalo kursi bioskop sampe habis gue makan. Bahkan, sebelum film diakhiri.

Salah, langkah Chand Parwes Servia untuk memperpanjang kisah Get Married sampai titik ini jelas sebuah kesalahan. Dan gue harap cukup sampai disini saja. Jangan sampai ada Get Married 4 dua tahun lagi. Karena dalam seri ketiga yang dibidani oleh Monty Tiwa sudah sangat jauh dari kesan menghibur selain potongan kegaringan plus kejayusan yang melanda dan tak pernah berhenti ditampilkan untuk menjadi sajian komedi yang diharapkan mampu menghibur namun juntrungannya malah berakhir gagal. Cukup disayangkan. Entah salah siapa, penulisnya yang gak kreatif atau sutrdaranya yang gagal mengeksekusi. Tanyakan pada rumput yang bergoyang. Sekian

Rating 2.9/10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...