Penonton Film Indonesia Merosot. Menurut L?


Seperti yang kita tahu, kasus sengketa pajak telah usai. Film impor pun kembali tayang. Semua masyarakat yang jadikan menonton film sebagai sebuah gaya hidup senang melihat hal itu. Tercatat sejak tanggal 29 Juli 2011, mereka mendapatkan kembali sesuatu yang hilang; menonton film berkualitas di bioskop. Di mulai dari tayangnya Harry Potter and The Deathly Hallows Part 2 dengan jumlah copy gila-gilaan. Lalu disusul summer movies lain seperti Fast Five, Pirates of The Carribean: On Stranger Tides, Kung Fu Panda 2 hingga In Time yang dibintangi oleh Justin Timberlake dan Amanda Seyfried yang akan segera hadir dalam waktu dekat.

Sepertinya tampak baik-baik saja. Sepertinya tampak menyenangkan. Tapi tidak bagi sineas kita. Sedikit banyak hak-hak mereka telah dikebiri!

Dulu, sewaktu kasus sengketa pajak belum menemukan titik terang, kehadiran film impor merosot drastis. Kalopun ada yang rilis, itu hanyalah film-film yang sebelumnya tersimpan rapi di gudang. Dan film Indonesiapun mendominasi. Tapi mendominasi dengan merilis tontonan tidak bermutu. Dan terus-terusan tidak bermutu yang mirisnya, biar banyak dicela, tetap mendapat banyak penonton yang entah datang darimana. Hingga pandangan skeptis masyarakat yang mencoba mencintai film bangsanya perlahan kembali memudar.

Memang, ditengah dominasi horor-komedi tidak bermutu yang menjadikan pocong dan kuntilanak sebagai pionir jualan, muncul film-film yang dibuat dengan hati. Sayangnya sajian bermutu tersebut sepi dari penonton. Entah karena terlanjur mendapat label buruk atau memang selera penonton kekinian menyukai hiburan yang seharusnya nggak layak konsumsi tersebut.

Setelah film impor kembali hadir, film Indonesia makin kehilangan penonton. Memang masih sih ada yang menonton. Tapi tidak sebanyak yang diperkirakan. Bahkan, film spesial lebaran yang menjadi ajang summer movies-nya Indonesia pun mengalami kemerosotan jumlah penonton hampir 50% dibanding tahun lalu. Padahal tahun ini film yang hadir lumayan berkualitas seperti Tendangan Dari langit, Lima Elang dan Di Bawah Lindungan Ka’bah meski masih memiliki kekurangan.

Kini, memasuki bulan ketiga pasca sengketa pajak, kemerosotan penonton kian biadab. Sepanjang 3 bulan ini, tidak ada satupun film Indonesia yang mencapai target penonton 400 ribu. Ini bukan lagi soal sinisme sebagian penonton. Tapi dominasi film asing yang terlalu repetitif membuat film Indonesia kesulitan bergerak. Merasa dianak tirikan bangsanya sendiri. Tak mendapatkan tempat. Tak dilirik.


Perhatikan saja, pihak 21 dengan brutalnya merilis film-film (yang kebetulan memang layak ditonton) dalam jarak terlalu dekat. Minimal dua film asing rilis tiap minggu pada hari rabu dan jumat. Sedang film Indonesia rilis pada hari kamis. Sebagai contoh nih, belum kelar hype Super 8 dan The Three Musketeers, hari rabu kemaren rilis Johnny English Reborn. Trus hari kamis rilis dua film Indonesia baru berjudul Kehormatan Di Balik Kerudung dan The Perfect House yang kayanya sepi-sepi aja. Dan pada hari jumat rilis lagi fil baru bertitel Real Steel. Nah loh, gimana penonton mau melirik film indonesia kalau kayak gini caranya?

Pada titik ini terlalu riskan kalau menyudutkan pihak-pihak seperti 21 yang agak berlebihan atau pemerintah yang terlihat niat nggak niat membangkitkan industri perfilman kearah yang lebih baik. Tapi kalau tetap kayak gini, sineas akan kehilangan semangat membuat film bermutu. Seperti status twitter Hanung Bramantyo yang nampak kehilangan percaya diri kalau film terbarunya bertajuk Pengejar Angin akan mendapat tempat di hati penonton. Sekarang tinggal kitanya aja: apa mau kayak gini terus? Atau nunggu dihadapkan pada pilihan yang nanti pasti akan terjadi: hilangnya film indonesia?

Please guys, ini film kita lho.. Dukung kek, apa kek. Abaikan film gak bermutu yang tujuannya beredar emang cari untung. Jangan cuma bacot jelek lah, apalah... Semua itu nggak akan membantu kalo lo tetep diam ditempat dan malah nggak nonton film yang dibuat dengan hati. Setidaknya dimulai dari diri sendiri deh. Budayakan menonton film Indonesia berkualitas. Jauhi film nggak bermutu!

At least, tetap cintai film Indonesia ya. Karena kalau bukan kita sebagai penerus, siapa lagi?

Kehormatan Di Balik Kerudung [2011]


"Aku seperti daun kering yang menunggumu.." - Syahdu

Syahdu (Donita) memutuskan untuk mencari ketenangan batin setelah tersakiti oleh cinta di rumah sang kakek di Pekalongan. Dalam perjalanan kesana, tepatnya ketika menunggu kereta datang, dia bertemu dengan seorang wartawan bernama Ifand (Andhika Pratama) dan kemudian merasakan desir-desir aneh bernama cinta. Sayang pertemuan itu hanya sebentar dan tak ada alasan untuk berharap lebih jauh. Namun siapa yang sangka begitu sampai di tempat sang kakek, takdir malah mempertemukan mereka kembali. Dan cinta itupun berjalan mengikuti alurnya.

Awalnya memang indah, namun kedekatan Ifand dan Syahdu tak disukai warga setempat. Hingga sang kakek meminta Syahdu untuk menjauhi Ifand demi nama baiknya dan nama Syahdu sendiri. Terlebih ketika gadis-gadis kampung meminta Syahdu dengan halus untuk menjauhi Ifand demi Sofiya (Ussy Sulistiawaty), gadis setempat yang sudah lama mendambakan cinta Ifand. Tak tahan, Syahdu memilih kembali ke rumahnya. Apakah keputusan Syahdu tepat? Dan bagaimana kisah cinta antara dia dan Ifand yang sudah terjalin erat?

Kehormatan Di Balik Kerudung merupakan debut komposer kenamaan Indonesia bernama Tya Subiakto Satrio. Diadaptasi dari novel berjudul sama buah karya Ma’mun Affany yang sepertinya nggak begitu eksis. Bahkan nggak ada embel-embel ‘based on best seller book’ di poster seperti kebiasaan film Indonesia kekinian yang diangkat dari sebuah novel. Terlepas dari best seller atau nggak, apakah film produksi kesekian Starvision ini worthy untuk ditonton?

Dari segi cerita dan tema sepertinya udah basi ya. Hanya modifikasi dari novel cinta berbalut nuansa islami yang sudah diadaptasi lebih dulu. Cuma tinggal utak atik template, karakter dan setting cerita, jadi deh film baru. Sayangnya film ini nggak seniat film sejenis yang lebih dulu beredar tadi seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Perempuan Berkalung Sorban atau Dalam Mihrab Cinta. Atau lebih baik nggak usah dibandingkan. Karena setelah diadaptasi, film ini telah kehilangan banyak hal. Bahkan unsur religi yang tertanam kuat dalam novelnya pun hilang nggak berbekas. Jadi jangan sebut Kehormatan Di Balik Kerudung sebagai drama reliji. Cukup drama cinta picisan yang dibuat bak sinetron. Atau lebih tepat drama komedi dengan dialog yang super-duper berlebihan. Serius? Komedi?

Amalia Putri sebagai penulis skenario kelihatan kurang begitu jeli menangkap inti cerita yang ada dalam novel. Atau asumsi gue dia menulis skenario secara on the spot alias jalan begitu ada dilokasi syuting. Kenapa gue bisa berasumsi kayak gini? Coba deh perhatiin betapa nggak singkronnya dialog-dialog dari scene ke scene yang dibuat sedikit sok nyastra itu. Kalo dialog sastranya dibuat dalam batas wajar sih nggak papa. Tapi karena terlalu sering bahkan hampir mendominasi, dialog tersebut membuat gue ketawa ngakak di atas ka’bah. Serius, dialognya tuh quotable yang lebay biadab dan absurd. Contohnya kayak gini:

Ifand: “Assalamuallaikum, Syahdu, ada apa?”
Syahdu: “Aku takut Ifand. Takut seperti embun yang hilang sebelum pagi datang.”

Gue langsung pasang ekspresi bingung tertampan ngedengernya (nggak usah dibayangin, please!). Bingung antara ingin tertawa atau gigit kursi bioskop. Parahnya dalam dialog selanjutnya nggak ada kalimat tanya dari Ifand seperti: “Apa maksud kamu Syahdu?”, sehingga Syahdu nggak perlu susah-susah pula menjelaskan kepada kita yang nggak henti dibuat mengernyitkan kening berkali-kali karena dialog semacam itu tetap ada hingga film selesai. Hell!

Dari segi akting, serius, bahkan saking ngefansnya sama Donita, nggak membuat gue untuk nggak ngelempar sandal liat aktingnya di film ini yang lebay jaya. Ekspresinya itu loh berlebihan. Coba apa deh maksud dia pasang ekspresi ketakutan begitu sampai pertama kali di rumah sang kakek dan ekspresi lebay lainnya yang nggak menjelaskan apapun. Setali tiga uang, Andhika Pratama juga melakukan hal serupa. Kalo nggak salah lihat, hampir tiap dia berbicara, kepalanya selalu dibuat miring-miring nggak jelas. Penghayatan atau emang ada masalah sama kepala lo Dik? Rasanya hanya Ussy yang berakting cukup normal meski karakter dia terlihat dangkal dan bodoh disini.

Lalu bagaimana dengan usaha Tya Subiakto dalam mengarahkan film pertamanya ini? Gue akui sinematografinya keren. Lanskap Bromo dapat tersaji sedemikian indah. Mungkin terlihat agak ke Nayato-Nayatoan mengingat lelembut satu ini bertindak sebagai DOP. Tapi ada beberapa part yang membuat filmnya berbeda meski pada akhirnya terpaksa memperlihatkan kedok yang Nayato banget. Nggak heran juga sih kalo banyak yang menyamakan. Dan nggak heran juga banyak yang berasumsi kalau film ini sebenarnya bikinan om Naya yang malu mengakui lalu memakai nama Tya Subiakto. Entahlah... biar Tuhan, Nayato, Tya, Chand Parwes dan Doraemon yang tahu (?)

Aduh, kayaknya gue terlalu kepanjangan deh reviewnya. At least, meski terlihat benar, nggak bisa dipungkiri kalau Kehormatan Di Balik Kerudung memiliki borok. Alur lompat-lompat. Plot hole bertebaran. Dialog najis tralala. Akting lebay. Tata musik annoying. Dan semua hal yang membuat judul film ini akan menjadi sebuah judul tanpa arti dan terlalu berat. Kehormatan? Kehormatan apa jeng?

NB: Kasian Ma’mun Affany adaptasi novelnya dibikin ancur kayak gini.

Pocong Minta Kawin [2011]


Guess what, siapa hantu paling eksis di Indonesia raya tercinta? Jawabannya nggak lain dan nggak bukan adalah POCONG. Sebagai setan yang memiliki ciri khas tersendiri dan hanya muncul di Indonesia saja, hantu berbungkus kain kafan ini sudah membuat sineas kita yang pada dasarnya memang suka kekeringan ide, semakin annoying dalam hal mengekplorasi genre horor dengan pocong sebagai pionir untuk menarik penonton ke bioskop.

Pocong Minta Kawin adalah film horor kesekian yang memakai judul pocong. Film horor kesekian yang membuat imej pocong sebagai hantu menyeramkan di Indonesia rusak. Film horor kesekian yang akhirnya harus masuk ke tempat sampah seperti film berjudul pocong-pocong sebelumnya. Film horor kesekian yang... what the F?

Ningsih (Chika Waode) adalah cewek yang mesti galau seumur hidup karena bergigi maju lima meter. Gara-gara itu pula calon suaminya membatalkan acara pernikahan mereka. Ketika sedang asyik curhat nasib diatap rumah susun, Ningsih dikagetkan oleh seruan Yuli Gaga (Julia Perez) yang malah membuatnya terjatuh dari atap dan meninggal. Nggak lama kemudian, empat mahasiswa kere sebut saja cowok A, B, C dan D, mencari kos murah dan menemukan bahwa kamar bekas Ningsih disewakan dengan harga meriah selangit. Dari sinilah teror Ningsih, pocong bergigi maju lima meter, di mulai.

Plotnya simpel. Plotnya basi. Dan coba tebak siapa penulis naskahnya. Oh my god, yes, Armantono. Tapi gue nggak yakin kalo ini hasil pikiran Armantono. Gue yakin banget kalo ini bualannya Harry Dagoe Suharyadi (HSD) aja biar filmnya bisa sedikit terangkat. Mengingat track record Armantono sangat jarang menulis skrip untuk genre horor. Tapi gatau lagi sih kalau dia maksa-maksa nulis horor sehingga jadinya ancur kayak gini. Buktinya PMK adalah kali kedua HSD dan Armantono duet setelah sampah lainnya bertajuk Di Kejar Setan.

Film ini disutradarai oleh Chiska Doppert. Merupakan film ketiga Jeng Chis setelah Ada Apa Dengan Pocong? Dan Tumbal Jailangkung. Lupakan judul Missing karena Jeng Chis memberikan konfirmasi  bahwa di film itu dia hanya bertindak sebagai asisten sutradara. Dan entah kenapa Nayato memakai namanya. Jadi cukup jelas, Missing adalah bagian dari sampah om Naya.

Meski ada kesamaan di bebeberapa part yang bisa dimaklumi secara dia udah bertahun-tahun kerja bareng sang guru, semakin kesini jeng Chis jelas memiliki teknik yang berbeda. Pembeda Nayato dan jeng Chis adalah dari standar eksplorasi dan tidak terlalu suka memakai pakem flashback yang menjadi kedigdayaan sang guru tersebut. Di satu sisi itu horor menjadi mudah dinikmati. Tapi disisi lain horor itu jadi kehilangan taji; yaitu rasa curiousity atas apa yang terjadi.

Dan hasilnya, Pocong Minta Kawin telah gagal menjadi horor ataupun horor komedi. Komedinya super garing level biadap. Sedang horornya sama sekali tidak menyeramkan. Lalu apa yang sebenarnya ingin ditawarkan oleh proyek aji mumpung HDS ini jika pada akhirnya nyampah lagi-nyampah lagi? Apa dada Julia Perez? Apa gigi maju yang dipake Chika Waode? Atau akting kancrut ensemble castnya? Om my evil, please, mending HSD balik aja bikin film-film niat festival mengingat dia ga ada bakat eksis di genre ginian. Kayaknya HSD kurang belajar dari Di Kejar Setan. Atau entahlah... hanya Tuhan dan HSD yang tau. Seperti gue yang pengen boker di dalam bioskop gara-gara pas masuk studio liat poster resmi PMK dipajang dengan elegan. Terlebih lagi dengan tagline “gagal cuci centong, jadi pocong deh” yang sumpah najis abis. Bikin gue pengen sumpelin mulut HSD pake kancut mbak-mbak penjaga tiket. Ups..!

Perempuan² Liar [2011]


Tampaknya 2011 menjadi tahun sial bagi rumah produksi MVP Pictures. Gimana nggak sial kalo film-film yang mereka edarkan tahun ini hampir semuanya flop dipasaran. Lalu ada Perempuan² Liar yang sepertinya akan bernasib sama seperti Cewek Gokil, Cowok Bikin Pusing dan Mudik yang rilis terlebih dahulu.

Dom (Tora Sudiro) dan Mino (Dallas Pratama) adalah kakak beradik yang bekerja sebagai debt collector di Jakarta. Saat asyik melakukan ‘pesta perempuan’ di sebuah hotel, mereka berdua dipertemukan dengan Mey (Maeeva Amin), cewek yang sedang galau ditengah prosesi pernikahannya dengan Rocky (Gary Iskak), pria pilihan sang ayah yang tak dia cintai. Seolah mendapat kesempatan, bersama Cindy (Rina Diana), sang adik, Mey pun memaksa Dom dan Mino untuk membawa mereka kabur. Petualangan gila dan liar pun dimulai setelahnya.

Premis yang terlihat menarik? Jawabannya adalah tidak setelah melihat hasil keseluruhan film yang dibidani oleh Rako Prijanto ini. Lagi dan lagi. Sebuah proyek kekeringan ide. Proyek tambal sulam yang entah dengan tujuan apa dibuat kalo hasilnya nggak begitu menarik—parahnya lagi, almost nyampah. Lebih parah lagi, merupakan hasil mix and match dari beberapa film luar seperti The Hangover, American Pie 2, The Sweetest Thing, A Life Less Ordinary dan salah satu film korea yang judulnya nggak sempet gue inget.

Naskahnya ditulis oleh Raditya Mangunsong dan merupakan duet ketiganya dengan Rako Prijanto setelah menjiplak mentah-mentah komedi korea berjudul A Tale of Legendary Libido yang kemudian bertransformasi menjadi Penganten Sunat. Sedang Perempuan² Liar menjadi film ke 13 sang sutradara. Setelah debut lewat Ungu Violet yang ceritanya juga hasil jiplak dari music video solois wanita asal negeri ginseng bernama Kiss. Oh my evil, parah sekali fakta di balik filmografi orang-orang ini!

Oke, kalo dari sisi cerita udah super duper nggak beres, hal apalagi yang setidaknya bisa menarik penonton untuk berbondong menyaksikan film ini? Sebenernya gue ragu sih bilang, tapi mungkin hanya adegan buka-bukaan ga niat antara Maeeva Amin dan Rina Diana dengan muka standard itu saja yang bisa menarik penonton terutama laki-laki. Bahkan kehadiran Tora dan Dallas sangat tidak menarik minat wanita. Satu karena akting mereka kancrut. Dua, karena mereka sudah bosan dengan muka yang itu-itu aja. Selebihnya, mending uangnya ditabung untuk keperluan yang lebih worth it. Semisal, beliin gue pulsa gitu. Pasti pahala kalian nambah deh hehehe…

Terakhir, coba bandingkan poster film ini dengan poster film komedi romantis fenomenal asal Thailand: Hello Stranger!




Pacar Hantu Perawan [2011]


SELAMATKAN PERFILMAN INDONESIA DENGAN TIDAK MENONTON FILM-FILM BUSUK! TERUTAMA FILM KK DHEERAJ!


Lupakan soal jalan cerita karena demi gue yang ganteng ini, Pacar Hantu Perawan adalah film paling nggak berperi kemanusiaan yang adil dan beradap, yang pernah dibuat oleh hewan. Ups, maaf ya kalo kasar banget. Habis gue mesti marah sama siapa dong? Masa iya gue mesti nyalahin emak gue? Tetangga gue? Guru SD gue? Nggak, nggak, gue pasti nyalahin lo, om E’ek Raj. Karena pada titik ini elo udah beneran keterlaluan. Lo udah melakukan pembodohan masal. Dan mempermalukan muka lo sendiri. Dan menyeret-nyeret muka perfilman bangsa gue. Eh, ralat, gue lupa, om E’ek kan uda nggak punya muka ya. Pantesan...

Gue yakin film ini dibikin tanpa naskah. Kalopun iya, palingan naskahnya cuma satu yang sebenarnya kosong karena sebelum take adegan, sang sutradara (sebut saja Yoyok Dumprink ;Red) dan tentu saja sang produser yang memakai kacamata kuda (sebut saja KKD ;Red) cuma memberi intruksi seperti berikut: “Heh banci kaleng, ntar lo pokoknya manja-manja aja ama Natha Narita. Trus buat lo Sisik (panggilan sayang KKD untuk Depe), lo ntar ngebacot sambil pasang ekspresi sensual biar taktik marketing kita yang bilang meki lo udah virgin lagi bisa kebukti! Dan terakhir buat kalian jeng Misa sama Jeng Vicky, ntar kalian ngikuti instruksi dari anak buah gue disana aja, maklum, gue gak bisa bacot inggris, Cint!”

Lalu bagaimana dengan departemen akting? Oh lupakan, hampir nggak ada yang bisa dibangga-banggain dari film ini. Dewi Perssik, makin lama aktingnya tuh makin apa banget deh. Mending lo baca koran aja di rumah. Pasangan ternajis abad ini, Natha Naritha dan Rafi Cinaoun, ya ampun, ga ada artis lain yang rada benaran dikit ya? Jonathan Frizzy, no komen ah. Maklum deh, aktor gak laku pengen eksis. Vicky Vette, kok gue agak gimana gitu ya liat payudara big size lo yang diekspos terlalu berlebihan. Mungkin selain akting Misa Campo yang kebetulan masih ada hubungan darah sama gue, hanya Olga Syahputra dengan bulu matanya yang rancak bana itu, yang bisa deh sedikit membuat gue tersenyum ala kadarnya. Selebihnya, ijinkan gue dengan segala kerendahan hati melempar tai gue ke layar bioskop! Dan menyuruh ke seluruh jaringan 21 untuk tidak memutar film ini!

Film ini sampah banget deh. Selain soal logika cerita yang begitu merendahkan intelijensia seorang manusia. Ada juga soal pemotongan adegan yang amat-sangat-sangat tidak berperikehewanan. Mungkin lebih ke soal gimana cara pihak LSF menyiasati agar film tai kayak gini bisa tayang. Hingga film yang emang dari asalnya udah menjijikan, terlihat makin menjijikan. Guess what, salah siapa? Tentu aja salah om E’ek. Karena berkat ketololannya, draft awal Pacar Hantu Perawan disensor habis-habisan sampe dia mesti melakukan syuting ulang untuk menambah durasi yang hilang hingga akhirnya durasi berjalan 70 menit lebih. Karena jelas dengan durasi 60 menit, pihak bioskop nggak akan mau memutar. Dan cara untuk mengakali adalah dengan memberi prolog kredit ternggak jelas dan terlama sepanjang hewan pernah membuat film.

Hell, demi keamanan dunia, please jangan tonton film ini. Cukup gue aja deh,toh gue kan niatnya nonton cuma buat review. Udah kalian tonton film bermutu aja. Jangan bikin E’ek Raj kesenengan karena filmnya laku. Karena kalo hal ini sampe terjadi, dia malah bakal lebih heboh memproduksi tai-tai lagi. Please ya, jangan di tonton. Biarkan om E’ek bangkrut dan membuka pabrik garmen aja. Setidaknya dia nggak perlu sok tau membuat film dengan insting bisnisnya yang patut diacungi jari tengah. Dari sini saja, bisa kita bandingkan bahwa Nayato akan langsung terlihat seperti Terrence Malick jika disejajarkan dengan E’ek Raj yang hanya tampak seperti seekor semut yang bentar lagi bakal gue injek-injek!

Sekali lagi, KK Dheeraj melemparkan tai di muka perfilman nasional. Tapi kali ini dengan dosis yang sudah tak bisa dimaafkan. Melebihi dosis nista pada film-film dia sebelumnya. Bikin gue terheran-heran dan serius mikir di gunung 2 hari 2 malam mengenai tingkah polah produser idiot hasil persilangan kuntilanak dan pocong satu ini. Apa sih maksud dia melakukan semua hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh manusia? Kalo memakai alasan demi memberikan kontribusi bagi perfilman tanah air, mending lo mencret aja di WC umum. Kalo pengen kaya tanpa memikirkan stigma apa yang di racunkan pada masyarakat Indonesia, yang sudah bosan dengan tontonan payudara kalo lewat internet saja mereka sudah puas dan nggak merasa di bodohi, mending lo mati aja buru-buru. Gara-gara ulah lo, penonton Indonesia semakin jengah dengan film bangsanya sendiri. Membuat mereka mengagung-agungkan produk luar negeri yang sudah jelas lebih segalanya. Dan yang paling parah lagi, menganak tirikan hal yang seharusnya mereka banggakan. Film Indonesia dipandang sebelah mata. Diacuhkan. Dilecehkan. Miris banget!

Badai Di Ujung Negeri [2011]


Badai (Arifin Putra) adalah seorang marinir yang ditugaskan menjaga pos perbatasan Indonesia di sebuah pulau di Laut Cina Selatan. Pada suatu hari ditemukan mayat perempuan yang membuat geger warga setempat. Hingga pandangan skeptis mereka terhadap tentara yang seringkali dianggap nggak penting, semakin menjadi. Peristiwa tersebut mempertemukan Badai dengan Joko (Yama Carlos), sahabat lama yang bertugas di kapal KRI. Sebagai sahabat, hubungan mereka tidaklah seakrab dulu karena suatu peristiwa di masa lalu.

Kehebohan kembali terjadi setelah ditemukan satu mayat anak kecil yang akhirnya membuat Badai merasa harus secepatnya bertindak sebelum ada korban selanjutnya, meski masalah cintanya dengan Anissa (Astrid Tiar) juga tengah mengalami cobaan. Berdasar petunjuk yang ditemukan pada tubuh mayat terakhir, Badai melakukan penyelidikan di pulau Bawah tanpa melapor pada atasannya, Lektkol Zein (Adrian Alim). Dari situlah terkuak bahwa sedang terjadi konspirasi yang dilakukan oleh oknum tertentu.

Badai Di Ujung Negeri merupakan film terbaru arahan Agung Sentausa setelah cukup lama absen pasca membidani Garasi pada tahun 2006 silam. Lalu bagaimanakah konklusi akhir debut produksi Quanta Pictures yang bujetnya lumayan wow ini?

Dari segi akting nggak ada yang terlalu gimana. Yang jelas jauh dari kata mengecewakan. Arifin Putra tetap berakting sebagai pria dewasa sekaku dalam filmnya yang rilis pada bulan Mei berjudul Batas. Astrid Tiar yang memulai debut layar lebar dan Yama Carlos yang sudah banyak wara-wiri di berbagai judul film, tampil terlampau biasa. Namun akting Jojon rupanya mampu menjadi highlite tersendiri. Dimana dia begitu mumpuni melepas bayang-bayang sebagai komedian dan berakting serius sebagai sosok villain bernama Piter. Meski sebenarnya agak susah juga bagi kita untuk melupakan gimik yang sudah melekat erat pada pelawak bernama asli Djuri Masdjan itu.

Dari segi cerita, nasib film ini sejalan dengan Simfoni Luar Biasa. Terlalu banyak plot hole. Dan lagi-lagi, penulis naskahnya, Ari M. Syarief, tidak mau susah-susah untuk menjelaskan. Di dukung oleh penyutradaraan Agung Sentausa yang terbilang matang namun malah keasyikan menyajikan gambar-gambar cantik dengan bantuan sinematografer sekelas Padri Nadeak. Emang sih kerja mereka menampilkan sisi ekostik pulau Tanjung Pinang, dibalut dengan tone yang lembut dan tenang, membuat mata gue begitu terpesona. Apalagi pas adegan yang mengharuskan syuting di bawah air. Dua kata: speechless dan keren. Tapi tetep aja dibikin galau kalau kecantikan yang mereka sajikan tanpa dibarengi tendensi yang jelas.

Contoh kecil yang paling ganggu nih: apa alasan Anissa di culik oleh komplotan pembajak kapal tanker? Kalau jawaban untuk diselamatkan oleh Badai, salah besar! Karena Badai sendiri sedang sibuk dengan penyelidikannya di pulau Bawah. Disini terlihat ada penekanan seolah-olah Anissa penting banget harus di culik. Badai Di Ujung Negeri bukan film yang diangkat dari komik Marvel kan? Yang mana tokoh utama harus bertindak bak superhero kesiangan dan harus menyelamatkan sang kekasih? Seenggaknya kalo memang mau dibuat seperti itu, harus ada penjelasan yang lebih masuk akal dong.

Belum lagi eksekusi action dan adegan akhir terlihat kurang matang aja. Entah kenapa pada bagian ini gue merasa anti klimaks. Mungkin karena nurut sama kode etik bla-bla-bla, adegan di tengah laut itu terlihat kering kerontang dan nggak bernyawa. Ibarat lagi mau nyalain petasan, eh tiba-tiba apinya mati. Kecewa banget kan? Beruntung masih ada Thoersi Argeswara yang sekali lagi bikin gue merinding dengan tata musiknya setelah trilogi Merah Putih.

At least, meski hasilnya masih jauh dari kata sempurna, gue nggak sungkan untuk ngacungin empat jempol buat debut produksi Quanta Pictures yang sudah berani mengambil konsekuensi ditengah percaturan film nasional dengan ide yang nggak pernah berkembang dari tema yang ini lagi-ini lagi tanpa perubahan berarti. Jelas, butuh keberanian besar membuat film dengan tujuan menentang tren. Dan nggak salah jika apresiasi lebih patut kita berikan.

Simfoni Luar Biasa [2011]


"And I'm flying into the night. Flying into the sky. And go higher and higher again...." - Jayden

Sebagian orang mungkin akan mengira jika karya terbaru dari Awi Suryadi ini merupakan kloningan film Perancis berjudul Les Choristes yang rilis pada tahun 2004 dan memakai judul The Chorus untuk peredaran internasional. Nyatanya, Simfoni Luar Biasa memiliki jalan cerita yang berbeda. Kalaupun nantinya ada kesamaan sedikit, wajar deh ya.

Jayden (Christian Bautista) adalah seorang musisi berbakat yang karirnya stuck di tempat. Masalahpun datang bertubi-tubi dalam hidupnya. Dimulai dari penjualan album yang mengenaskan, perform panggung yang dilabeli dengan kata “garing”, hingga diusir paksa dari apartemen lantaran nggak mampu bayar uang sewa. Mengikuti saran dari sang tante yang bernama Helena (Maribeth), Jayden pun meninggalkan Manila, tempat dimana dia tumbuh besar. Jayden memilih untuk tinggal di Jakarta bersama Marlina (Ira Wibowo), sosok ibu yang selama bertahun-tahun meninggalkan dia tanpa alasan yang jelas.

Di Jakarta, Jayden memulai hidup dari nol. Awalnya memang tidak mudah. Namun sifat welcome dari keluarga baru rupanya mampu mempermudah proses adaptasi tersebut. Termasuk dalam mengambil keputusan menjadi guru musik di sekolah luar biasa yang dibina oleh yayasan Ibunya. Mampukah Jayden membawa perubahan dalam hidupnya? Dan tentu saja perubahan bagi anak-anak cacat yang diasuhnya?

Actually, film ini menawarkan premis yang cukup menarik. Apalagi ada nama Christian Bautista yang jelas jadi selling point utama. Tapi rupaya Awi Suryadi, tidak mampu mengkoordinir apa yang ada dengan baik. Sehingga film yang diharapkan bisa menginspirasi banyak orang, malah cenderung datar dan mudah dilupakan.

Pelantun tembang The Way You Look At Me ini sebenarnya mampu berakting dengan baik. Tapi nyatanya, dari awal film dimulai hingga kredit akhir, gue sama sekali nggak tau apa yang dilakuin sama Christian Bautista selain plonga-plongo tanpa ekspresi dan emosi. Padahal jajaran pendukung sudah bersusah payah membangun karakter dengan sedemikian kuat. Sebut saja Ira Maya Sopha, Sophie Navita, Gista Putri sampai Verdi Solaiman. Tapi apa daya, nggak ada jalinan chemistry yang terbangun dengan baik gegara pemenang Philippine Idol tersebut. Membuat pemain lain sepertinya sudah membuang-buang bakat mereka. Sori bagi yang ngefans sama Christian Bautista. Gue nggak sentimen kok sama dia. Tapi aktingnya emang biasaaaa banget!

Hal ini diperparah dengan naskah olahan Awi Suryadi dan Maggie Tiojakin yang penuh lubang disana-sini. Dan mereka tampak tidak terlalu capek-capek untuk menambal bagian yang bolong itu. Hal ini yang akhirnya membuat Simfoni Luar Biasa nggak bisa tampil dengan sempurna. Banyak hal yang begitu mengganggu jika kalian mau mencermati. Seperti bagaimana proses anak-anak cacat ini bisa seajaib itu menghafalkan lagu berbahasa inggris. Lalu bagaimana pula seorang labil seperti Jayden bisa membuat harmonisasi nada dengan begitu cepat padahal scene sebelumnya membuat bocah-bocah penderita disabilitas ini menurut saja, Jayden nampak kesusahan. Belum lagi penyelesaian banyak konflik yang (lagi-lagi) semudah membalikan telapak tangan. Sebut saja konflik antara Jayden dengan Dimas yang diperankan dengan baik oleh Verdi Solaiman. Tapi nggak usah heran deh. Ini kan kebiasaan perfilman kita? Bener kan? Makanya nggak salah jika kesan akhir dari produksi terbaru Delon Tio ini terlihat sangat terburu-buru.

Beruntungnya eksekusi seada-adanya saja a la Awi Suryadi setelah menyampah dengan Pengantin Topeng tahun lalu, tertutupi oleh muskalitas dari anak-anak kecil yang sumpah, bikin gue merinding disko. Ya, merinding, karena vokal mereka bener-bener gokil!

Meski jauh dari kata memuaskan, apalagi dengan poster resmi yang sangat tidak menjual, Simfoni Luar Biasa tetaplah bisa menjadi alternatif tontonan Indonesia yang berbeda. Cukup mampu memberi warna ditengah serbuan film dengan tema yang nggak bisa jauh dari kata kunti dan pocong. Dan sensualitas bodi cewek.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...