The Perfect House [2011]


“Anda tidak kenal dengan cucu saya Nak Julie...” ~ Madam Rita

The Perfect House adalah film keempat arahan Affandi Abdul Rahman, salah satu sutradara terbaik yang dimiliki Indonesia. Memulai debut lewat Pencarian Terakhir yang cukup dapat beragam tanggapan positif. Setelah dua tahun berturut membidani dwilogi komedi romantis pasca debut, ditahun ini dia kembali mengangkat sebuah film dengan genre jarang terjamah yang melambungkan namanya di ranah scene lokal: thriller berbumbu psikologis.

Rencana cuti satu bulan yang telah lama diidamkan terpaksa Julie (Cathy Sharon) tunda lantaran harus menggantikan Lulu, private tutor satu agensi, yang kabur ketika mengajar di tempat Madam Rita (Bella Esperence). Awalnya Julie memang menolak, bahkan tidak berminat. Tapi setelah merasa memiliki kenangan silam yang sama dengan Januar (Endy Arfian), cucu Madam Rita, calon murid barunya, diapun mengiyakan tawaran dari atasannya tersebut. Tak masalah, meski jarak yang cukup jauh mengharuskan Julie untuk ikut tinggal di rumah besar bergaya Belanda milik kliennya itu.

Di hari pertama bekerja, sudah terlalu banyak perintah yang harus Julie patuhi. Termasuk mengiyakan peraturan yang tak masuk diakal. Makin lama tinggal, Julie merasa ada yang tidak beres dengan kelakuan pemilik rumah. Terutama perlakuan Madam Rita kepada sang cucu yang terlampau protektif tanpa dibarengi dengan tendensi yang jelas. Dan hal itu membuat Julie tak mau tinggal diam. Pelan-pelan dia berusaha menguak misteri yang tercecer di sekitarnya. Semakin berhasil menguak satu persatu misteri, semakin dekat saja kematian menghampiri Julie. Sanggupkah Julie bertahan?

Actually, untuk ukuran pecinta film sejati, apa yang ditawarkan The Perfect House bukanlah sesuatu yang baru. Plot seperti ini sudah sering kita temui di film-film luar. Tapi untuk Indonesia, bolehlah kita sedikit memberi applause. Daripada disuguhi sajian membosankan dan repetitif horor kacrut yang tetep saja tak pernah kehilangan penonton, film yang sempat jadi official selection di Puchon ini mampu memberi nuansa baru yang cukup mengembirakan dengan tampilan dan cita rasa kelas internasional.

Sayangnya, The Perfect House tak sesempurna judulnya. Memang, memang bukan film yang sempurna yang gue cari. Hadir dengan kualitas diatas rata-rata saja sudah lebih dari cukup. Tapi tak dapat dipungkiri kalau ketidak sempurnaan itu cukup mengganggu kenikmatan menonton.

Seperti biasa, naskah cerita jadi kendala utama. Diberbagai sisi, skenario olahan Affandi Abdul Rahman dan Alim Sudio terlihat kurang matang. Sehingga banyak menimbulkan plot hole yang cukup mengganggu. Bahkan twist yang seharusnya terjaga diakhir harus rela kita ketahui dimenit-menit awal. Belum lagi semakin mendekati penutup, semakin kita dibuat bertanya-tanya tentang tujuan adegan demi adegan yang tak terjawab hingga film berakhir. Salah jika ingin menjadi sajian cerdas disaat penonton kita maunya nonton yang horor ringan. Minimal diberikan konklusi akhirlah. Itu saja lebih dari cukup. Hingga kekecewaan pun bisa sedikit terobati.

Beruntung gue nonton film ini bersama sutradara dan Vera lasut selaku produser. Jadi gue sempet mencetuskan beberapa pertanyaan yang dengan berani ditanyakan teman gue ketika dibuka sesi Q and A. Dan gue agak kaget dengan reaksi mereka yang terlihat kebingungan menjawab. Kemungkinan, masih kemungkinan, akan ada sekuel (atau prekuel) yang nantinya bisa menjadi jembatan rasa tidak puas penonton atas ceritanya. Itupun jika The Perfect House sukses. Tapi melihat kenyataan jumlah penonton sekarang, rasanya impossible harapan untuk mewujudkan hal itu meski segala kemungkinan selalu ada.

Terlepas dari hal diatas, The Perfect House tetaplah film bermutu dengan tampilan diatas rata-rata film nasional. Affandi dan Faozan Rizal, selaku sinematografer, mampu membuat gue nyaman dengan gambaran creepy yang disajikan lewat tone yang lembut. Didukung musik besutan Aghi Narottama dan Bemby Gusti yang mampu memacu adrenalin dibeberapa partnya. Sedang untuk urusan akting, lumayan lah. Kerja sama Cathy dan Bella pasca Hantu Bangku Kosong sedikit mengalami peningkatan yang signifikan. Terakhir, salut untuk spesial efek di ending cerita yang gokil banget. Bahkan sempet menutup mata saking ga tega ngelihat apa yang disajikan Affandi dengan begitu awesome dibarengi tone cerah ceria bermandikan darah. Sick!

IMO: Bisa gue bilang kalo poster The Perfect House adalah salah satu poster thriller Indonesia terkreatif yang pernah gue lihat. Coba perhatikan bentuk judulnya yang meski dibolak-balik akan tetap terbaca sama.

Ayah, Mengapa Aku Berbeda? [2011]


“Mereka bilang aku berbeda. Aku tidak mengerti kenapa. Padahal, aku dilahirkan dengan cara yang sama...” ~ Angel

Memanfaatkan sebuah euphoria sebenarnya sah-sah saja. Itu Indonesia banget. Nggak usah heran kalo perfilman kita selalu saja latah mengeksploitasi hal itu. Dan nggak usah heran pula kalo hasilnya kebanyakan hancur total alias menyampah sembarangan!

Ayah, Mengapa Aku Berbeda? adalah sebuah trend lanjutan dari suksesnya Surat Kecil Untuk Tuhan. Dimana dengan jeli sang produser membaca market: bagaimana cara mengeruk keuntungan dari labilers se-Indonesia raya. Maka diadaptasilah sebuah novel yang diklaim sudah dibaca 2 juta readers secara online. Dan langsung memilih Dinda Hauw yang mendadak jadi ‘sesuatu’ setelah debutnya sukses menarik 748.842 penonton sebagai pemeran utama. Sampai disini nggak ada masalah memang. Tapi semua berubah tidak menyenangkan ketika menikmati jalinan visualisasi dari novel besutan Agnes dan Teddy, atau yang lebih kita kenal dengan Agnes Davonar.

Film ini sudah menjengkelkan sejak awal. Dan semakin menjadi-jadi hingga credit akhir muncul. Gimana enggak, dari awal kita sudah disodori dengan tangisan-tangisan lebay tidak pada tempatnya. Hell, bikin film tearjerker sih tearjerker aja. Tapi nggak mesti gini-gini juga kali. Masa iya tiap ngapa-ngapain keluar air mata, dikit-dikit keluar air mata. Kenapa nggak nikahin gue aja sekalian? Fuck off banget lah! Bahkan gue udah nggak peduli gimana nasib akhir Angel; cewek tersial di dunia yang diperankan dengan sangat biasa oleh Dinda Hauw. Karena gue udah capek diajak untuk terus bersimpati pada karakter stupid bin corny di layar bioskop. Thanks untuk kerja tim penulis skenarionya: Titien Wattimena, Djamil Aurora dan Agnes Davonar, karena telah membuat film berdurasi 99 menit ini tidak penting untuk disimak.

Hal diatas makin diperburuk oleh jajaran pemeran pembantu di film ini. Selain Fendy Chow dan Kiki Azhari dengan akting nggak banget a la sinetron di RCTI, swear KK Dheeraj gue timpuk sama pispot, Rafi Cinoun adalah kesalahan terbesar Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Hell, bagian casting tolong bersihin mata pake insto dong. Masa iya lo milih artis kek gini. Minimal yang rada beneran dikit deh. Ditinjau dari segi mana sih coba kalo muka Rafi tuh enak dipandang? *pengen muntah sambil kayang*

Selain cerita dan akting yang failed, kegagalan demi kegagalan terus berlanjut hingga membuat film arahan Findo Purwono ini makin tidak jelas. Seperti gambaran kedokteran yang ngasal, bloopers dimana-mana dan subtitle adegan gagu yang muncul disaat-saat nggak worth it. Bikin gue berkali-kali mengerutkan jidat saking gagal pahamnya.

And yes, cukup seperti itulah siksaan yang disodorkan oleh produksi terbaru Rapi Film di tahun 2011 ini. Nggak horror, nggak drama, film-film produksinya emang bikin gue ngoceh ngalor ngidul sambil ngupil. Percayalah, bagian terbaik film ini terletak ketika secara tiba-tiba terdengar suara Agnes Monica dengan hitz-nya berjudul Rapuh. At least, bukan film yang buruk. Tapi terkadang kita harus tahu dimana batas antara cerita dalam novel yang perlu divisualisasikan agar tidak tampak berlebihan dan menyedihkan. Lalu apakah jawaban dari pertanyaan “Ayah, mengapa aku berbeda?”, tanyain aja sama rumput yang bergoyang.

By the way sebelum gue tutup reviewnya, masih perlu nggak gue kasih detail sinopsis ceritanya?

Sang Penari [2011]


"Sus, ronggeng iki duniaku, wujud dharma baktiku untuk Dukuh Paruk!" ~ Srintil

Ini kisah Srintil (Prisia Nasution) yang merasa memiliki keterikatan magis sebagai penari ronggeng sejak kecil. Ini kisah Rasus (Oka Antara) , pria lugu yang tumbuh besar dengan satu cinta, satu nama wanita di hatinya; Srintil. Ini kisah dua manusia yang harus memilih untuk hidup. Dimana pilihan itu nanti akan membuat keadaan disekitar mereka mau tak mau akan berubah.

Seperti itulah sedikit gambaran yang bisa gue tuliskan tentang Sang Penari. Sebuah film yang dibuat dari hati. Sebuah film produksi anak bangsa yang patut diapresiasi lebih. Diadaptasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk buah karya Ahmad Tohari, penulis asal Banyumas. Disutradarai oleh Ifa Isfansyah berdasar naskah yang dia tulis bersama Salman Aristo dan salah satu produser, Shanty Harmayn.

Rasanya nggak salah menyerahkan proyek adapatasi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala ini kedalam bentuk visual di pundak seorang Ifa yang angkat nama lewat Garuda Di Dadaku. Ditangan Ifa, Sang Penari terlihat lebih hidup berkat kejeliannya menangkap berbagai aspek menarik yang tersaji selama 109 menit. Didukung oleh sinematografi dari Yadi Sugandi dengan tatanan tone gloomy tahun 1950-1960 nya, tata busana dari Chitra Subiyakto, tim artistik yang begitu detail menuangkan hiruk pikuk jaman dulu, serta scoring olahan Aksan dan Titi Sjuman, semakin membuat mata ini tak mau berpaling dari layar. Semua melebur jadi satu dengan sempurna. Saling mendukung satu sama lain.

Nggak cuma itu aja, Sang Penari terlihat semakin berkilau dengan ensemble cast yang begitu kompeten dibidangnya. Sebut saja Pia (sapaan akrab Prisia Nasution) yang berakting begitu total setelah tampil nggak worthy dalam debutnya sebagai pacar Fauzi Baadilah di omnibus horor berjudul Takut: Faces of Fear. Lalu jangan lupakan chemistry antara Pia dengan lawan mainnya, Oka Antara yang dapet banget. Selain dua nama tadi, juga bisa disaksikan kehadiran bintang sekelas Slamet Rahardjo, Dewi Irawan, Landung Simatupang, Lukman Sardi dan Tio Pakusodewo yang bermain pas dengan karakter yang diemban masing-masing.

Sayangnya Sang Penari juga tidak sesempurna itu. Dia juga memiliki kekurangan yang sedikit membuat kening berkerut karena munculnya scene-scene nggak penting dibeberapa part sehingga meninggalkan lubang kecil yang tak mampu tertambal dengan baik. Bukan itu saja, kurangnya penjelasan bagi penonton awam seperti gue yang nggak pernah tahu ada novel Ronggeng Dukuh Paruk, terlihat akan menjadi kendala besar bagi sebagian penonton. Terutama bagi generasi yang tumbuh ketika invasi produk dan tingkah laku a la luar negeri sudah menjadi gaya hidup. Belum lagi kebijakan lembaga sensor film yang cukup mengganggu disalah satu adegan karena kasar banget motongnya, bikin gue makin kecewa.

Terlepas dari itu, Sang Penari tetaplah film bermutu. Apalagi production value-nya pantas diberi kredit. Kalau saja film ini rilis lebih dulu daripada Di Bawah Lindungan Ka’bah, semua pasti akan menjagokan Sang Penari dalam ajang Oscar 2012 untuk mewakili Indonesia dibanding film berbujet besar tapi kosong dan nggak ada apa-apanya itu.

At least, inilah contoh film yang bikin kita bangga jadi penduduk Indonesia. Ayo, dukung film Indonesia bermutu!

Hot: The Raid Remake


The Raid a.k.a Serbuan Maut garapan teranyar Gareth Guw Evans, sutradara muda berkebangsaan Inggris yang kini menetap di Indonesia, kembali membuat sensasi membanggakan. Setelah dibeli hak peredaran Amerika oleh Sony Pictures Worldwide Acquisition, banyak mendapat respon positif dari kritikus ketika ditayangkan dalam ajang Toronto International Film Festival 2011 yang berlangsung pada 8-18 September hingga memenangkan Cadillac People's Choice Midnight Madness Award, kini terdengar kabar terbaru kalau film panjang ketiga Gareth Evans tersebut sudah pasti akan diremake oleh Hollywood.

Screen Gems lah yang membeli hak remake The Raid. Sebenarnya nggak terlalu kaget juga sih jika akhirnya proses pembelian hak cipta dari rumah produksi yang sudah menelurkan Resident Evil, Underworld, Hostel serta komedi dewasa yang baru saja rilis dan mendapat tanggapan positif kritikus berjudul Friends With Benefits ini mendapat lampu hijau. Karena Screen Gems merupakan anak perusahaan dari Sony Pictures.

Menurut berita yang sudah dirilis oleh beberapa media, Gareth Evans mempercayakan penuh proyek remake The Raid pada Screen Gems asal pihak Screen Gems mampu bertanggung jawab dengan tidak asal-asalan dalam prosesnya seperti yang sudah mereka sepakati. Yah, kita tahu sendirilah belakangan ini film Asia yang diadaptasi Hollywood nggak pernah ada yang bagus. Kalaupun ada bisa dihitung pake jari. Selain itu udah pasti sangatlah sampah dan nggak worthy kayak My Sassy Girl, The Eye dan sebagainya.

Kisah The Raid yang dibintangi oleh Iko Uwais, Joe Taslim dan Yayan Ruhian ini mengambil setting lokasi di jantung komunitas kumuh Jakarta, tepatnya di sebuah gedung markas persembunyian kalangan gangster paling berbahaya di dunia. Sebuah pasukan elit mendapatkan tugas untuk menyerbu markas kriminal tersebut guna meringkus kepala penjahat pengedar narkoba.

Mengetahui bahwa mereka sedang diincar, para kriminal pun mematikan seluruh aliran listrik dan memblokir semua jalan keluar. Terperangkap di lantai 6 gedung tersebut, pasukan elit itu diharuskan berjuang mencari jalan keluar demi menyelesaikan misi mereka.

Udah nggak sabar kan pengen lihat filmnya? Tenang aja guys, The Raid bakal rilis awal tahun 2012 di seluruh Indonesia kok. Beruntung gue punya kesempatan meliput screening versi uncensored yang berlangsung pada closing Indonesia International Fantastic Film Festival 2011 tanggal 20 November nanti. So, tunggu info selanjutnya dari gue ya.

Poster Karakter The Raid:







The Mentalist [2011]


Plot dari film ini adalah persaingan dua orang mentalis (sok penting) di negeri entah berantah. Tak perlu menjelaskan secara detail bagaimana ceritanya karena akan sangat membuang waktu. Intinya, The Mentalist sepuluh kali lipat lebih menyeramkan (tolong bagian ini jangan diartikan secara harfiah) daripada official poster yang sudah corny dan menjijikan itu. Kalau aja gue jago photoshop, tanpa segan gue bakal mengedit poster film agar tampak lebih elegan dan pantas dipasang untuk postingan kali ini.

Sejak awal, film dibuka dengan tidak senonoh. Dan semakin mencabik-cabik hati dan perasaan terdalam gue yang tampan dan menggemaskan ini begitu melihat hasil secara keselurhan.

1. Ceritanya sangat merendahkan intelijensia penonton. Entah penonton Indonesia yang masih belum bisa menerima tontonan bergenre fiksi fantasi seperti ini atau bagaimana gue nggak mau ngurusin, tapi segala yang terjadi dalam The Mentalist terasa begitu annoying dan lebay. Dari mulai segi kostum sampe properti yang sangat murahan.

2. Skenario olahan Walmer Sitohang pun sama seperti cara penyutradaraan dia yang sok-sok ber Nayato ria. Serius, dialog film ini absurd dan belibet. Dan disini pula kalian bakal ngelihat scene-scene menyerupai Nayato tapi dengan kualitas rendah yang sangat mengganggu mata.

3. Soal akting, gue nggak tau ngapain aja Deddy Corbuzier dan Limbad di film ini. Mereka tidak kelihatan seperti berakting. Tapi juga tidak kelihatan sedang melakukan peragaan sulap. Lalu ngapain? Asumsi gue sih lagi niat ngelenong. Belum lagi penampilan dua bintang muda tidak bermasa depan cerah seperti Hafil Andrio sebagai Zhoe dengan tatanan make up ala Edward Cullen lagi mengalami pendarahan otak dan Meiditha Badawijaya sebagai Jhane dengan bodi dan muka yang teramat merusak pemandangan. Woi, bagian casting siapa sih? *gak santai*

4. Visual efeknya juga totally sinema laga di Indosiar. Makin diperparah dengan tata musik dari Tya Subiakto yang please, sangat merusak mood lantaran tidak sesingkron itu dengan jalan cerita. Bahkan agar terdengar keren saja tidak.

5. Tambahan: kalian akan melihat dengan sangat 'artistik' comotan adegan ketika Edward Cullen menyelamatkan Bella Swan dari mobil yang akan menabrak dalam Twilight.

Hell, betapa gue pengen jadi invisible man saking malunya membuang uang percuma demi tontonan tidak layak konsumsi seperti ini diantara lima orang lain yang ada dalam studio 4 dan sepertinya juga tidak niat menonton karena sibuk bermesraan dengan pasangan masing-masing. Persetan deh sama alibi yang dikeluarkan saat jumpa pers tentang kenapa tak ada prosesi screening atau gala premiere dengan alasan ingin memberikan kejutan pada penonton. Excuse me, kejutan yang mana ya? Atraksi paling nggak jelas yang dilakukan Limbad dan Deddy itu? Oh my evil, mending gue ngepel lantai bioskop!

Harusnya Hengky Kurniawan tidak perlu memasang namanya sebagai produser dengan sedemikian narsis. Alangkah lebih sopan jika dia memakai nama samaran seperti H. Kurniawan atau Hengky K agar tak memperburuk citra sebagai artis yang banting setir jadi produser dan memproduseri film gagal seperti ini. Itupun jika The Mentalist layak disebut film. Atau sinetron yang diputar di bioskop? Entahlah, biar waktu yang menjawab. Sekian.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...