My Last Love [2012]


Menurut penelitian gue selama dua hari empat malam, produk terbaru MD Pictures ini adalah proyek cari untung semata dari Punjabi Bersaudara. Iya, setelah mengalami stres dini tingkat Afganistan akibat mega proyek mereka bertajuk Di Bawah Lindungan Ka’bah gagal total di pasaran, maka dibuatlah film dengan budget pas-pasan yang kemungkinan bisa mendatangkan banyak penonton. Maka dipilihlah sutradara paling produktif se-Indonesia (MURI mana MURI?!?) untuk mempermudah proses agar rumah produksi tersebut tidak perlu gulung tikar.

Nggak susah memang untuk berspekulasi seperti ini. Karena gue yakin banget Punjabi Bersaudara tau bagaimana reputasi Om Naya selama ini. Bagaimana sepak terjang sutradara yang sering diperbincangkan (keburukannya) oleh banyak orang tersebut. So nggak usah heran jika hasil akhir film inipun layak sekali masuk tong sampah seperti biasa. Yang perlu diherankan adalah: kenapa Punjabi Bersaudara nekat memilih Nayato? Oke, gue ulang lagi biar kesan dramatisnya lebih terasa: KENAPA PUNJABI BERSAUDARA NEKAT MEMILIH NAYATO? Apa karena saking hopeless nya? Oh, co cuit #abaikan

My Last Love diadaptasi dari novel (yang kata posternya) best seller buah karya Agnes Davonar. Tapi menurut gue nggak perlu juga memberi embel-embel adaptasi kalo hasil akhirnya malah lebih mirip film non adaptasi hasil mix and match dedramaan galau macam Pupus, Kangen, Cinta Pertama dan 18+. Gimana nggak aneh kalau selain nama karakter dan benang merah yang bias, My Last Love sukses dirombak sana-sini dengan seenaknya. Ckck..

Seperti kebiasaan Nayato yang nggak perlu memakai naskah, My Last Love juga bernasib serupa. Nggak aneh kalo dialognya sangat annoying biadab. Kayak gini contoh yang gue visualisasiin pake gaya skrip film:

INT. LORONG RUMAH SAKIT – MALAM

IBU ANGEL
Bagaimana keadaan Angel?

NADYA
Angel kecelakaan Bu...

Nah, lho. Si Ibu nanya apa, jawabnya apa?

Yang jadi pertanyaan gue: Ery Sofid yang sering banget jadi penulis naskah di film Nayato beneran kerja atau cuma dicomot nama doang sih kayak kasus Chiska Doppert di film Missing? Feeling gue, kalopun ada gosip naskah ditulis on the spot, masa iya sebegini dangkal dan tidak bermutunya dialog yang ada. Atau jangan-jangan, Nayato sebenarnya udah menggunakan sistim yang dipopulerkan oleh Damien Dematra dengan memegang berbagai posisi di film mereka? Iya, jadi sebenernya Nayato jugalah yang menulis naskah di setiap filmnya. Tapi karena nggak bakat dan hasilnya jelek, maka dipakai nama orang lain agar pencitraan dirinya tak semakin buruk.

Eh, ini kok gue jadi gosipin orang sih? Huehuehue.... habis filmnya nggak bermutu sih. Jadi bingung mau komen apaan. Mau komen wajah Donita yang cantik gue udah males. Setelah putus dengan Donita dan sadar bahwa aktingnya jelek di film Kehormatan Di Balik Kerudung, gue udah nggak mau bahas Donita lagi. Meski sebenarnya kecantikan Donita terpancar banget di film ini berkat cara-cara ajaib Nayato meng-capture muka eksotis dara pemilik nama asli Noni Anisah tersebut.

Selain Donita, ensemble cast lain juga nggak ada beda. Mereka semua pada berlomba menampilkan akting terburuk. Dari Evan Sanders yang sibuk ajeb-ajeb sampe Jordi Onsu yang gagal menjadi highlite komedi sebagai hiburan. And then, nggak ada cerita film ini bikin gue nangis darah. Yang ada malah bikin gue sibuk ketawa sendiri dari awal film di mulai hingga kredit film muncul saking gak tahan melihat ulah busuk Nayato yang sudah terbaca.

Adegan paling lucu terjadi di ending film. Gimana bisa gitu Angel yang tau Martin, orang yang dia cintai di  meninggal pangkuannya, malah sibuk baca puisi? Bukan inalilahi atau sekalian nyanyi "apalah artinya kata cinta? yang kau ucap semua hanya mimpi. apalah artinya cincin ini? yang kau bilang pengikat janji suciku...."*

Please kalo kayak gini prosesnya jangan cegah gue untuk gantung diri. Faham ya? (smile)


* lirik lagu "Apalah Artinya" oleh Donita

Mother Keder [2012]


Belakangan sulit menemukan sajian komedi buatan sineas lokal yang beneran nendang sampe bikin ketawa ngakak dua hari dua malam. Kalopun ada dengan berbagai tambahan varian seperti satir, romantis atau horor, nggak pernah sukses memancing tawa penonton. Dikarenakan rata-rata dari film tersebut hanya mengandalkan adegan slapstik atau ketololan nggak bermutu yang terkadang menghina intelijensia penonton.

Mother Keder: Emakku Ajaib Bener adalah sebuah film yang diadaptasi dari buku bergenre personal literature karangan Viyanthi Silvana, mantan Putri Indonesia Fotogenik tahun 2001. Gue udah baca buku tersebut. Lumayan lucu deh untuk ukuran buku berisi curhat random. Gaya tulisan Vivi yang ngepop mampu menerjemahkan segala tingkah polah keajaiban sang ibu dengan baik. Nggak heran jika kemudian ada seorang yang tertarik untuk mengangkatnya dalam format film.

Masalahnya disini, bahasa visual berbeda dengan bahasa buku. Kalo bukunya lucu, belum tentu filmnya bernasib serupa. Coba ingat kembali Kambing Jantan. Buku curhat Raditya Dika tersebut lucu ketika dibaca. Tapi begitu diadaptasi jadi film malah berakhir garing dan flat banget. Makanya gue sedikit pesimis kalo apa yang ditulis oleh Vivi dalam bukunya ini tak mampu diterjemahkan dengan baik. Dan sayangnya, kenyataan itu benar-benar terjadi.

Kisah Ibu Kosasih sebagai emak ajaib yang diperankan dengan sangat total oleh Ira Maya Sopha telah gagal menjadi sajian komedi yang ‘komedi’ sejak awal dimulai. Terlihat sangat tidak konsisten jika lima menit awal ada scene monolog Vivi (Qory Sandioriva) namun tidak digunakan lagi sampai film berakhir. Sehingga fokus pengaturan porsi siapa yang harus jadi main character setelah durasi berjalan 15 menit terlihat nggak jelas. Entah itu kisah Vivi, Dinda (Jill Gladys) atau Ibu Kosasih. Karena saking tumplek-blek, gue bingung mencerna dan harus bersimpati pada siapa.

Gue akui, masih ada usaha dari Reka Wijaya selaku penulis skenario, untuk mengatur kerandoman dalam buku menjadi satu paduan yang utuh. Mother Keder masih mempunyai satu benang lurus sampai film berakhir. Tapi proses penyajian Eko Nobel untuk debutnya kali ini membuat Mother Keder terlihat seperti potongan-potongan sketsa yang disatukan secara paksa. Sehingga penonton akan sulit untuk ikut larut dalam kisah yang sebenarnya mempunyai niat mulia untuk menginspirasi banyak orang.

Tanggung, ya Mother Keder adalah film yang serba tanggung. Dari awal film ini seperti kebingungan untuk diarahkan jadi drama komedi, pure komedi atau pure drama. Kalo komedi kok kurang lucu. Kalo drama kok nggak niat. Padahal tujuan nonton karena pengen hepi-hepi di dalam bioskop, tapi kok nggak hepi sama sekali. Nah....!

Selain Ira Maya Sopha, deretan cast juga bermain serba tanggung. Paling parah adalah penampilan Qory Sandioriva. Dia sama sekali gak mempunyai bakat akting. Gue nggak tahu sepanjang durasi dia akting atau lagi ngapain. Yang jelas gue nggak dapet feel seorang Vivi dalam dirinya.

And then, dengan sangat berat hati gue memasukan Mother Keder dalam list film adaptasi dari buku yang gagal. Hematnya sih dikembalikan ke tujuan awal saja; menjadikan film ini sebagai sitcom berdurasi 30 menit yang tayang tiap hari pas jam-jam prime time di televisi. Toh untuk disebut sebagai film, tampilan Mother Keder nggak jauh beda dengan FTV tanpa commercial break.

Xià Àimĕi [2012]


"Udah, sogok aja kayak film-film indonesia!" - AJ Park

Coba tebak, poster apakah yang gue pasang di atas? Bukan, itu bukan versi live action dari anime Jepang terpopuler: Sailor Moon. Bukan pula drama mandarin yang hanya tayang di Blitz Megaplex. Apalagi iklan aplikasi terbaru dari Yahoo! Indonesia untuk pangsa pasar pria dewasa. Salah semua guys! Gambar tersebut adalah poster film Xià Àimĕi. Drama lokal yang mencoba untuk berbeda. Eh, berbeda? Yakin beda?

Bercerita tentang Xià Àimĕi (Franda), gadis lugu asal Yangshuo Guangxi, sebuah desa kecil di daratan China. Àimèi bersama gadis lain diboyong ke Indonesia oleh Jack (Ferry Salim), pria necis pemilik Lé Mansion, sebuah club mewah di Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, Àimĕi yang diubah nama menjadi Xi Xi baru sadar kalau dia adalah korban human trafficking. Terlebih ketika Jack menjadikannya komoditi pemuas nafsu pria kaya, kabur pun menjadi jalan satu-satunya agar merdeka. Untuk kabur, Xi Xi meminta bantuan Lielie (Shareefa Danish) dan Pauline (Jasmine Julia Machate) teman satu kamar di Lé Mansion serta AJ Park (Samuel Rizal) pegawai Discovery Underworld International berdarah Korea. Sanggupkah Xi Xi kembali ke Negara asalnya dengan bantuan mereka?

Well, apa yang di tawarkan oleh produksi terbaru Falcon Pictures ini sebenarnya lumayan menjanjikan. Sayangnya ide besar tersebut gagal disampaikan dengan baik. Skenario hasil rembukan Alyandra, Tohaesa dan Sally Anom terlalu payah untuk kemudian di ekskusi oleh Alyandra yang selain bertindak sebagai penulis naskah juga memegang bagian penyutradaraan, DOP dan tata musik.

Lihat saja, sepanjang 72 menit kita akan melihat betapa pincangnya film ini. Naskah yang buruk semakin hancur lebur dengan gaya penyutradaraan Alyandra yang terkesan dikejar sesuatu. Sehingga ditinjau dari berbagai sisi film ini mempunyai banyak nilai minus. Seperti akting para aktor dan aktris yang so pathetic serta editing yang kasar.

Ngomongin akting, rasanya hanya Shareefa Danish yang sanggup membawakan karatkter dangkal yang diembankan padanya dengan baik. Franda yang baru saja memulai debut layar lebar memang tidak buruk, tapi peforma aktingnya belum mampu meyakinkan banyak orang kalau dia beneran sedang tertindas selain sepanjang film hanya sibuk menundukan kepala. Bagian paling ganggu adalah penampilan Ferry Salim dengan jambul khatulistiwa wannabe dan gaya necisnya yang terlalu berlebihan (bahkan di keseharian pun!). Belum lagi tambahan highlite komedi gagal dan teramat sangat maksa dari Gilang Dirgahari. Membuat gue nggak berhenti mikir untuk segera keluar dari studio saking muaknya.

Berterima kasihlah pada Franda. Karena dia adalah satu-satunya alasan gue (dan cowok-cowok lain) untuk bertahan menyaksikan film ini sampai credit title muncul. Andai saja produksinya tak terlalu buru-buru serta mau meluangkan waktu dalam proses penggodokan naskah, mungkin Xià Àimĕi mampu tampil lebih berisi dan memikat. Tidak seperti sekarang yang rasanya sia-sia saja memasukan berbagai unsur menarik jika digarap hanya setengah-setengah. Pada akhirnya Xià Àimĕi pun telah gagal untuk tampil berbeda. Sebuah debut film yang mengecewakan bagi Alyandra dan Franda.

Ummi Aminah [2012]


“Mulutnyah!” ~ Zubaidah

Aditya Gumay adalah satu dari sekian sutradara kita yang nggak pernah muluk-muluk dalam proses membuat film. Minimal sekali dalam satu tahun dia merilis sebuah karya. Ya, memang hanya satu saja. Tapi efeknya bisa membekas sampai film berikutnya muncul. Lihat, belum habis hype Emak Ingin Naik Haji (2009) dan Rumah Tanpa Jendela (2011) yang muncul dengan begitu sederhana namun mampu membuat hati menangis, di awal tahun 2012 ini hadir kembali satu karya terbarunya bertajuk Ummi Aminah.

Ummi Aminah bercerita tentang seorang ustadzah terkenal bernama Aminah (Nani Wijaya) yang memiliki ribuan jemaah setia. Meski dijadikan sosok panutan karena syiar agamanya mampu menggugah siapapun, tak lantas membuat hidup Aminah dan keluarga besarnya jauh dari cobaan. Tema 'ustadzah juga manusia' inilah yang kemudian dijadikan duet Adenin Adlan dan Aditya Gumay sebagai menu utama.

Meski suguhan konflik terlihat klise a la sinetron di televisi yang makin hari makin nggak berguna (tapi mendatangkan banyak rejeki bagi orang-orang yang bekerja di belakangnya), Ummi Aminah mampu tampil dengan tidak berlebihan apalagi menggurui. Satu kata: sederhana. Apa yang dituturkan Aditya Gumay dalam filmnya kali ini nggak terlalu dibuat lebay jaya. Karena bisa aja hal kayak gini terjadi di sekitar kita. Atau mostly udah sering kita alami. Fakta inilah yang kemudian mampu secara reflek membuat penonton untuk tidak hanya sekedar terlibat secara mata, tapi juga batin.

Satu kelebihan lain adalah keputusan tepat yang diambil penulis skenario untuk tidak terlalu menghakimi kaum LGBT seperti yang terjadi dalam segmen cerita anak Aminah bernama Zidan (Ruben Onsu). Disini sosok Zidan sengaja di abu-abukan untuk kemudian jadi bahan kontemplasi orang-orang yang sering memandang mereka sebelah mata. Bahwa sosok seperti Zidan ada disekitar kita. Dan mereka juga manusia. Nggak perlulah sok-sok ngejudge seolah kita ini Tuhan seperti beberapa film yang kadang membuat posisi mereka terlihat tak pada tempatnya.

Sebagai sebuah film, Ummi Aminah memang jauh dari kata sempurna seperti hakikat manusia itu sendiri. Tapi untungnya hal tersebut tidak terlalu mengganggu sehingga merusak isi film karena dengan sukses tertutupi oleh akting para ensemble cast yang begitu mumpuni. Lihat saja duet Ummi dan Abah yang diperankan secara alami oleh Nani Wijaya dan Rasyid Karim. Juga kelebayan Zubaidah (Genta Windi) yang mampu mengocok perut di saat yang seringnya tidak tepat. Iya, karena kadang pas kita kita udah larut dalam suasana sentimentil mendadak dibuat tertawa akibat celetukan komedinya. Highlite yang terbilang berhasil.

Anyway, salut untuk pemilihan ending yang terbilang berani hingga tak terkesan stereotip seperti film bergenre drama sejenis. Ya, setidaknya bisa memperingatkan kita bahwa hidup nggak semudah Mario Teguh dalam menulis quote-quote yang terkadang berkesan bullshit (ups...).

Ummi Aminah adalah film pembuka tahun yang memuaskan. Unfortunately melihat fakta di lapangan bahwa penonton kita lebih senang nonton film berbau paha dan belahan dada ketimbang film bermutu seperti ini membuat hati ini sakit. Benar-benar nggak habis pikir deh. Sulit memang menerka pasar. Semoga Aditya Gumay nggak kapok membuat film-film setema sebangun seperti Ummi Aminah. Film yang sederhana dan dekat dengan keseharian. Film yang mampu menyentuh dan membuat kita keluar dari bioskop dengan membawa ‘sesuatu’...

Pulau Hantu 3 [2012]


Ngomongin soal Jose Poernomo nggak bisa lepas dari masterpiece-nya berjudul Jelangkung bareng Rizal Mantovani yang menjadi salah satu tonggak kebangkitan perfilman kita. Tapi setelah ‘horor-bener’ bertajuk Angkerbatu-nya gagal dipasaran, Jose banting setir membuat film horor-seksi beberapa bulan setelah merilis film yang menjadikan setan sebagai zombie tersebut.

Premis yang ditawarkan Pulau Hantu (2007) memang nggak seoriginal itu. Tapi dari sini Jose seolah menemukan nafas baru untuk kemudian dilanjutkan oleh para pengekor dengan kualitas murahan. Terbukti Pulau Hantu emang sukses besar bahkan menjadi salah satu dari 10 film terlaris rilisan 2007 dengan raihan 650.000 penonton. Nggak heran jika kemudian muncul sekuelnya bertajuk Pulau Hantu 2 di tahun 2008.

Kini, setelah tiga tahun berlalu, dan ditunggu-tunggu sebagian penikmat film kategori vividism seperti ini, Jose Poernomo kembali melanjutkan kisah Pulau Madara dengan tambahan angka 3 di belakangnya. Tetap memakai formula yang sama, sajian horor berbumbu tampilan dada dan paha para wanita cantik. Bedanya, jika antara predesor dengan sekuelnya masih memiliki keterkaitan, sekuel kedua ini tampaknya hanya dibuat untuk bersenang-senang. Jalinan plot tak teratur dan scene demi scene yang tak mempunyai kolerasi satu sama lain membuat siapapun bisa dengan mudah menduga kalau usaha Jose dan Punjabi grup hanya untuk mengeruk keuntungan.

Basicly, untuk urusan ‘mempermainkan’ penonton, gue lebih suka cara Jose dalam mendirect Pulau Hantu 3 dibanding seri sebelumnya. Tapi dari segi kedalaman cerita dan pernak-perniknya, gue merasa seri ini adalah seri terburuk atau seharusnya nggak perlu ada.

Emang sih gue menikmati film ini. Di satu sisi gue seneng, mencak-mencak kegirangan. Disisi lain gue merasa kasihan sama filmmaker kayak gini yang baru di awal tahun udah nyampah aja. Selain tampilan bodi-bodi yang dahsyat, kita bakalan disuguhi dengan akting kacrut dari para pemain dan kegaringan skenario yang levelnya udah biadab banget. Unsur komedi yang harusnya menjadi highlight seri ini terlihat kering dan maksa. Lihat saja durasi-durasi awal yang kriuk to the max. Bikin gue pengen banget stand up comedy di depan Jose soal bagaimana menyajikan komedi yang mengakak kayangkan penonton. Itupun dengan catatan gue udah sukses berguru sama Olga Syahputra lhoo. Eh, ini kenapa jadi out of the topic gini sih?

At least, gue menganggap keseruan menonton Pulau Hantu 3 sebagai gulity pleasure meski sedikit terganggu dengan cara pemotongan LSF yang nggak banget. Mungkin gue juga harus masuk LSF agar mereka tau bagaimana cara sensor yang baik dan benar tanpa menghilangkan esensi dan nggak terkesan amatir. Gue nggak ngedukung kekecewaan Jose mengingat filmnya dipotong beberapa menit karena emang nggak worth it. Tapi sebagai penikmat film, yang nonton ke bioskop bayar, gue nggak mau pemotongan adegan terjadi dengan tidak elegan kayak proses sensor di tivi.

By the way, kenapa posternya jadi turun derajat ya? Kayaknya gue juga perlu bikinin poster biarrr—

*Tulisan sengaja terpotong karena review isinya kebanyakan menyombongkan diri. Which is hal itu nggak boleh dilakukan oleh seorang manusia yang unyu seperti gue. Salam Super!

Kafan Sundel Bolong: Aziz Gagap vs Mr. Bean. Jiplak?


Advisory Warning: Sebelum lanjut membaca, jangan lupa sediain baskom untuk wadah muntah.

Di sore yang mendung ceria ini gue langsung heboh kemana-mana pas secara gaib menemukan trailer film tai terbaru KK Dheeraj yang berjudul Kafan Sundel Bolong. Kenapa? Bukankah film E’ek Raj emang selalu stagnansi ke arah jamban melulu? Whatever, peduli setan soal jamban. Gue nggak terima karena untuk filmnya kali ini dia ngejiplak beberapa scene dalam komedi situasi Mr. Bean. Hell, siapa sih yang nggak tau sosok bloon ikonik tersebut? Keterlaluan! Basicly, pikir gue sih mereka gapapa nyampah asal jangan jiplak. Malu-maluin banget lah kalo kayak gini. What the fuck with you om beroo?

Sebenernya gue ga perlu seheboh ini banget karena shit-stuff kayak ini, ini dan ini udah sering dilakuin E'ek Raj. Lupa penjiplakan apa saja yang dia and the gank tebarkan di tiap filmnya? Coba baca-baca lagi skandal apa yang uda gue beberkan beberapa waktu lalu dengan sangat elegan di postingan yang berhubungan sama E'ek Raj. Kalau gak ada waktu, buruan cekidot ke tulisan di bawah.

Pertama-tama gue bakalan kasih lihat trailer Kafan Sundel Bolong which is mahakarya E'ek Raj di awal tahun 2012, yang di klaim khusus untuk menghormati Ratu Horor Suzanna. Wah, gue hakkul yakin banget kalau almarhumah Suzanna bakalan ga ridho dunia akhirat dipersembahin film kayak gini.


Setelah melihat trailer berikut, ngerasa nggak ada sesuatu yang familiar? Coba perhatikan sekali lagi. Kalau udah, sekarang gue bakalan kasi skrinsyut topik terpanas di awal tahun yang bikin gue mencak-mencak di awal.




Skrinsyut 1 sampe 3 di ambil dari salah satu episode Mr. Bean berjudul Reclaims His Trousers. Cek videonya disini --> Mr. Bean


Skrinsyut 4 di ambil dari salah satu episode Mr. Bean berjudul Credit Card Mix Up. cek Videonya disini --> Mr. Bean


Skrinsyut 5 di ambil dari salah satu episode Mr. Bean berjudul In The Toilet. cek Videonya disini --> Mr.Bean


Skrinsyut 6 di ambil dari salah satu episode Mr. Bean berjudul Getting Up Late For The Dentist. cek Videonya disini --> Mr.Bean

Nah, nah, parah banget kan? Ini masih trailer. Gimana coba filmnya nanti? Semoga ini bukan awal mimpi buruk!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...